Kamis 11 Feb 2021 15:08 WIB

Dari Kudeta Hingga Jalan Demokrasi Para Jenderal

Jalan terjal demokrasi bagi para jenderal.

Tentara Mynmar tengah berjaga.
Foto:

Kudeta Jenderal Myanmar

Saya teringat kembali pada pada teladan yang diberikan oleh ketiga jenderal tadi sesudah membaca dua buah berita pada awal pekan lalu.

Pertama, berita tentang kudeta militer di Myanmar. Dan kedua, berita tentang isu “kudeta” di tubuh Partai Demokrat. Kedua peristiwa tadi kebetulan sama-sama “melibatkan jenderal” di dalamnya.

Myanmar, sama seperti halnya Thailand yang juga terus-menerus dilanda kemelut politik, hingga hari ini memang belum bisa membebaskan dirinya dari bayang-bayang militerisme.

Bahkan, orang-orang di Bangkok memiliki lelucon mengenai hal itu. Katanya, ada dua hal yang rutin terjadi di Thailand, yaitu pembukaan mal baru, dan rumor bahwa angkatan bersenjata sedang merencanakan kudeta lagi. 

Apa yang terjadi pada hari Senin pekan lalu di Myanmar memang cukup dramatik. Pagi itu, Aung San Suu Kyi seharusnya pergi ke gedung parlemen untuk memulai periode kedua kekuasaannya.

Pada November 2020 silam, partai yang dipimpinnya, yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi (The National League for Democracy, NLD), memang kembali menang telak dalam Pemilu dengan memenangkan 396 dari 476 kursi parlemen.

Sementara, oposisi sokongan militer, Partai Solidaritas dan Pembangunan (The Union Solidarity and Development Party, USDP) hanya kebagian 33 kursi saja. Dengan kemenangan tersebut, NLD mengulangi kemenangan besarnya pada Pemilu 2015 silam.

Meski dua kali menang Pemilu dengan angka mutlak, Suu Kyi tidak bisa menjadi Presiden. Di dalam Konstitusi 2008, pihak militer telah mencegah kemungkinan tersebut dengan memasukan klausul yang melarang siapa pun yang memiliki anggota keluarga asing bisa menjadi Presiden.

Karena Suu Kyi menikah dengan seorang pria Inggris, secara konstitusional ia tidak bisa menduduki jabatan tersebut. Namun, meski secara formal tak bisa menjadi presiden, sejak 2016 NLD berhasil menciptakan posisi Penasihat Negara (State Counsellor of Myanmar) untuk Suu Kyi yang secara de facto menjadikannya sebagai pemimpin tertinggi negara dengan kekuasaan yang lebih kuat daripada yang dikehendaki oleh para jenderal.

Tetapi, pekan lalu, Suu Kyi tak pernah sampai ke gedung parlemen. Pada Senin dini hari rumahnya keburu disatroni tentara dan ia kemudian dijadikan tahanan.

Selain Suu Kyi, pihak militer juga menahan Presiden Win Myint, lusinan pejabat senior, tokoh-tokoh NLD, serta para aktivis masyarakat sipil. Pihak militer telah menggunakan sebuah pasal dalam konstitusi Myanmar tahun 2008 yang memungkinkan mereka untuk menyatakan keadaan darurat dan mengambil alih tiga cabang pemerintahan.

Mereka mengumumkan bahwa keadaan darurat akan berlangsung selama satu tahun. Setelah itu, pemilihan baru akan diadakan. Sejak hari Senin pekan lalu, demokrasi kembali mati suri di tangan rezim militer Myanmar.

Peristiwa kudeta itu telah menarik mundur kembali roda demokrasi yang terus merangkak sejak satu dekade lalu di Myanmar.

Seperti kita ketahui, lebih dari sepuluh tahun lalu para jenderal di Myanmar mulai membuka diri. Mereka menyusun konstitusi, membuat rencana untuk mengadakan pemilihan umum, meliberalisasi ekonomi, dan bersedia melakukan transisi semidemokrasi, meskipun tetap berusaha mempertahankan kekuasaannya.

Dalam Konstitusi 2008, misalnya, militer tetap mendapatkan alokasi seperempat kursi parlemen, mendapatkan hak veto atas amandemen konstitusi, serta diberi kewenangan penuh atas tiga kementerian utama, yaitu pertahanan, perbatasan, dan dalam negeri.

Meski masih sarat dengan kepentingan militer, sejak itu, Myanmar mulai menapaki perubahan-perubahan politik yang menjanjikan. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement