Kamis 11 Feb 2021 15:08 WIB

Dari Kudeta Hingga Jalan Demokrasi Para Jenderal

Jalan terjal demokrasi bagi para jenderal.

Tentara Mynmar tengah berjaga.
Foto:

Pada 2010, mereka menyelenggarakan pemilihan umum yang kemudian dimenangkan oleh USDP. Meskipun diprotes oleh NLD yang mengeklaim adanya sejumlah kecurangan, di bawah pemerintahan Thein Sein yang naik sesudah Pemilu 2010, perubahan-perubahan berarti terus terjadi di Myanmar, mulai dari pembebasan tahanan politik, termasuk pembebasan Aung San Suu Kyi menjadi tahanan rumah sejak tahun 1989, hingga pembukaan diri Myanmar pada dunia internasional.

Myanmar cukup berubah secara signifikan sejak saat itu. Kebebasan sosial mulai mendapat ruang, investasi asing berdatangan, dan kelas menengah mulai tumbuh di sana.

Pemilu 2010 memang tidak serta merta mengubah Myanmar menjadi negara demokrasi. Namun, berbeda dengan pandangan sejumlah negara Barat, Uni Eropa, atau kelompok pendukung HAM dan demokrasi yang melihat perubahan itu dengan nada skeptis, ASEAN dan PBB ketika itu memiliki penilaian yang lebih positif pada lembaran baru yang tengah dijajaki Myanmar.

Bagaimanapun, sejak 1962, negara itu hidup di bawah junta militer. Sehingga, perubahan sekecil apa pun perlu dianggap berarti. Apalagi, pada pemilu sela yang diadakan bulan Maret 2012, NLD kemudian meraih kemenangan besar. Sehingga, banyak orang kemudian menjadi optimistis dengan masa depan demokrasi Myanmar.

Menarik untuk dicatat, dalam buku biografinya, Hard Choices (2016), mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton mengaitkan nama Presiden SBY dengan sejumlah perubahan yang terjadi di Myanmar ketika itu.

Sebagai pemimpin ASEAN, sekaligus sebagai pensiunan jenderal, SBY saat itu dinilai Hillary mampu berkomunikasi dengan penguasa Myanmar, Jenderal Tan Shwe, sehingga upaya untuk melakukan demokratisasi di Myanmar bisa menggelinding sebagaimana yang telah berlangsung. Ucapan terima kasih Hillary kepada SBY itu ia sebutkan beberapa kali dalam memoarnya.

Selama setengah abad terakhir, militer Myanmar adalah institusi paling kuat di negara tersebut. Sejak 1962 hingga 2011, para diktator militer silih berganti berkuasa.

Selain memiliki kendali atas pemerintahan, mereka juga menguasai ekonomi dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Mereka mengasingkan negerinya dari pergaulan internasional, memerintah dengan tangan besi, sehingga membuat negaranya menjadi paria. Ironisnya, di tengah-tengah penduduk yang miskin, militer Myanmar adalah institusi yang kaya raya.

Tahun lalu, misalnya, penyelidikan Amnesty International menemukan bahwa hampir setiap unit militer memiliki saham di perusahaan konglomerasi Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) yang memiliki gurita bisnis dan berjejaring global. Karena mengendalikan hampir semua usaha strategis, seperti pertambangan, tembakau, perbankan, transportasi, dan manufaktur, militer telah menjadi institusi terkaya di negeri miskin tersebut.

Jenderal Min Aung Hlaing yang pekan lalu melakukan kudeta terpilih menjadi panglima tertinggi ketika transisi semidemokrasi di Myanmar dimulai pada 2011 silam.

Jenderal yang sering disebut bertanggung jawab atas pembantaian etnis Rohingya pada tahun 2017 itu, sejak awal sangat mungkin telah membayangkan dirinya akan menjadi presiden setelah pensiun dari militer tahun ini.

Namun, ketika politisi sipil memenangi Pemilu 2015 dan kembali menang pada Pemilu 2020 lalu, ia mungkin melihat jika peluangnya meraih posisi itu melalui jalur demokratis telah tertutup. Sehingga, sebelum parlemen hasil Pemilu 2020 bersidang pada Senin pekan lalu untuk mengesahkan pemerintahan baru, ia menggunakan jurus lama yang dipelajari dari para pendahulunya; kudeta.

Tetapi, kudeta kali ini saya kira akan berbeda ujungnya. Demonstrasi besar-besaran masyarakat sipil yang terjadi di Myanmar pekan ini seharusnya dicatat oleh para jenderal di Naypyidaw sebagai hal baru. Mereka kini bukan lagi menghadapi para pendukung Suu Kyi, melainkan tengah menghadapi masyarakat Myanmar yang menginginkan perubahan dan tak ingin mundur kembali ke belakang.

Di sisi lain, meskipun reputasi Suu Kyi di panggung internasional telah merosot menyusul sikap tak simpatiknya ketika terjadi pembantaian etnis Rohingya, di dalam negeri, ia sedang dalam puncak popularitasnya. Sehingga, jika para jenderal itu bersikeras menutup dialog, saya kira, hasilnya tidak akan sepadan buat mereka.

Sikap Cina yang sebelumnya selalu menentang intervensi internasional atas Myanmar, kini juga mulai berubah. Cina sudah mendesak semua pihak yang terlibat konflik untuk “menyelesaikan perbedaan” sesegera mungkin. Ini menunjukkan jika dukungan kepada para jenderal di Myanmar tak akan lagi sama.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement