Ahad 24 Jan 2021 10:05 WIB

Sri Baduga Maharaja, Sahabat Nabi Muhammad dari Nusantara?

Adakah Sahabat Nabi Muhammad dari Nusantara?

Gaya busana santri di masa lalu.
Foto:

Sebagai data tambahan untuk mencari kepingan puzzle, berikut kita akan telusuri sekilas sejarah istilah agama Hindu menurut peneliti sejarah Nusantara, Agus Wira Budiman. Penelitian Agus akan mengarahkan kita pada fakta historis lain yang dapat dipakai untuk merancang ulang bangunan epistemologi ilmu-ilmu keislaman (kalam) klasik.

Amin Abdullah menyebutnya epistemologi ilmu kalam jadid (baru). Mengapa harus kalam jadid? Selama ini lokus kajian kalam klasik seputar tuhan menurut pandangan Mu'tazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Syi'ah, dan lain-lain yang tidak lain hasil konsepsi masyarakat Arab yang bercabang dari agama Islam yang muncul sekitar 1400 tahun yang lalu di tanah Arab sana.

Padahal di zaman sekarang Islam bukan satu-satunya the living religion. Dalam dunia sekarang ada banyak living religion yang mempunyai konsep ketuhanan, seperangkat nilai, dan keyakinan yang sama persis seperti yang dipraktikkan oleh umat Islam.

Hanya saja kitab suci, bahasa yang digunakan, nabi atau rasul yang menjadi tokoh karismatik, tata cara ritual ibadahnya serta letak geografis para pemeluknya berbeda. Agama-agama lokal tersebut bukanlah “agama” baru dibanding dengan Islam atau agama-agama dunia yang lain seperti Hindu, Budha, Yahudi dan Kristen.

Ia adalah “agama” lama yang diyakini secara turun temurun oleh penghuni pertama wilayah tersebut. Dan ilmu “agama”-nya pun diajarkan dan diwariskan secara turun temurun pula dari para leluhur mereka kepada anak cucu pilihan yang dianggap pantas untuk mengembannya.

Cara memperoleh ilmu pengetahuannya bisa diverifikasi dengan epistemologi irfani. Transmisi pengetahuan agama seperti itu, min al-ajdad ila al-abai tsumma al-ahfad, dalam Islam disebut dengan sanad. “Haditsi haditsu abi, haditsu abi haditsu jaddi, haditsu jaddi haditsu Rasulillah”, kata cicit Nabi, dan “haditsu Rasulillah hadiitsullahi”. Hal yang umum berlaku dalam sebuah komunitas. Tidak hanya dalam komunitas Arab saja.

Dari sini kita akan dapat memahami ayat al-Qur'an yang berbunyi: minhum man qashashna 'alaik wa minhum man lam naqshush 'alaik (QS. 40:78). Bahwa banyak nabi yang kisahnya disebut al-kitab dan lebih banyak yang tidak.

Tapi dikisahkan oleh hadis Nabi Saw. Apakah Malik al-Hind termasuk ke dalam nubuwat ini? Sebagaimana termaktub dalam kitab al-nubuwwah dalam Bihar al-Anwar yang akan kita lihat nanti? Dari sini juga kita dapat memahami ayat yang berbunyi: wa likulli qaumin hadin (QS. 7:13). Bahwa setiap kaum memiliki 'nabi' tersendiri. Akan sangat inspiritif dan akan menjadi temuan menarik bila kita mampu menarik benang merah informasi tentang Malik al-Hind ini dengan buku Nabi-Nabi Nusantara karya al-Makin,  rektor UIN Jogja. 

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement