Ahad 24 Jan 2021 10:05 WIB

Sri Baduga Maharaja, Sahabat Nabi Muhammad dari Nusantara?

Adakah Sahabat Nabi Muhammad dari Nusantara?

Gaya busana santri di masa lalu.
Foto:

Kita kembali ke muasal penamaan agama Hindu. Menurut Wira Budiman, dalam Encyclopedia of Religion and Ethics vol. 6, sebelum kedatangan Islam ke India kata Hindu tidak ada disebut dalam literartur India bahkan dalam kitab sucinya sendiri.

Adalah penulis Inggris yang pertama kali menggunakan kata Hindu pada tahun 1830 untuk menggambarkan keadaan dan kepercayaan orang India. Maka penyebutan kata Hindu untuk menggambarkan kepercayaan/agama leluhur Nusantara pra-Islam tidak lain karena pengaruh imperialis Eropa yang membagi-bagi daerah jajahan di Timur Jauh. Sebagai bagian dari periodesasi sejarah yang hendak mereka paksakan pada daerah jajahan. 

Menarik bila kita mampu meneliti genealogi, ideologi dan penamaan kepercayaaan agama masyarakat Bali yang sebenarnya sama dengan kepercayaan leluhur Nusantara yang lain. Seperti kepercayaan Sunda Wiwitan, Djawa Sunda, Kapitayan, Kejawen, Parmalim, Kaharingan, Wetu Telu, dan lain-lain yang sudah ada sejak sebelum kedatangan agama impor; Islam, Kristen, Budha, Hindu (India) dan Kong Hucu sebagai paham global yang dijadikan acuan bagi penetepanagama resmi yang diakui oleh negara.

Masyarakat Bali menyebut tuhan dengan Sang Hyang Widi Wasa, yang tidak ada dalam kamus agama 'hindu' India. Belum lagi banyak tradisi masyarakat Hindu-Bali yang secara diametrikal berbeda dengan Hindu-India. Ini sebagai bukti awal untuk investigasi lanjut tentang makna al-Hind dalam literatur Arab kuno.

'Ala kulli hal, masih banyak PR terkait persoalan sahabat Nabi ini daripada sekedar mengulang-ulangi dogma keadilah sahabat yg sebenarnya sudah menjadi fosil sejarah. Di sinilah relevansinya formula ilmu kalam jadid yang tidak melulu mengkaji konsep tuhan berdasarkan mazhab-mazhab Arab (Sunni, Syi'ah, Mu'tazilah dan Wahabi). Juga karena ilmu kalam klasik menyetir lokus kajian ilmu hadis tradisional yang sangat saktarian dan tidak egaliter. 

Kita kembali ke Malik al-Hind. Sekarang kita menuju sumber Syi'ah, kitab Bihar al-Anwar. Ada tambahan data yang tidak ada dalam dua sumber sebelumnya. Menariknya al-Majlisi menempatkan kisah ini dalam kitab al-nubuwwah persis setelah menyebut Nabi Muhammad Sawberasal dari pohon mulia yang

berbuah (jurtsumah al-mutakhayyirah/al-mutsmirah). Dalam riwayat lain disebut min al-syajarah al-musyarrafah al-thayyibah. Kepadanya dititipkan al-Qur'an yang ditulis dengan bahasa Arab yang memuat berita tentang (ilmu) manusia zaman dahulu dan (Ilmu) manusia  masa depan.

Persis setelah itu kemudian berkisah tentang Malik al-Hind ini yang berumur panjang. Apa konteksnya? Di sini asyiknya metode abduktif. Kita tidak hanya berhenti pada teks saja.

Tapi menukik pada konteks. Menemukan konteks di balik penempatan kisah ini adalah domain the logic of discovery pola pikir abduktif.  Dari sini akan tersingkap korelasi antara tradisi Ibrahim yang bersifat teosentris dan muncul di Timur Tengah sana dengan tradisi non-Abrahamik yang bersifat antroposentris yang berkembang di Timur Jauh sini.

Yang terkait dengan teks hadis Nabi Saw yang berbunyi: Hablullah al-mamdud min al-ardhi ila al-samai, dalam menyebut posisi 'itrah Nabi Saw yang menurut Fadhlullah sebagai penghubung antara langit dan bumi. 

Saya harap ini dapat menggugah curiosity kita untuk merenung, berpikir,  lalu bertindak melakukan investigasi mendalam dengan paradigma berpikir yang baru untuk memperoleh pengetahuan yan juga baru yaitu paradigma abduktif.

Saya yakin dengan the logic of discovery akan tersingkap banyak kejutan akademik yang dapat mengguncangkan singgasana/arsy ilmu pengetahuan Barat maupun Timur. Kita kembali ke Bihar al-Anwar. 

Dari 'Ali bin 'Abdullah al-Aswari, dari Makki bin Ahmad, ia berkata: Aku mendengar Ishaq bin Ibrahim al-Thusi, saat berumur 97 tahun, berkata:

Aku meliha Sri Baduga Malik al-Hind di sebuah negri bernama Shauh (di kitab Usud al-Ghabah disebut Qannuh). Aku bertanya: Berapa umur Baginda? Ia menjawab: 925 tahun. Ia seorang Muslim. Di sini informasinya sama dengan dua sumber di atas. Juga tentang sahabat yang diutus Nabi Saw. Dan surat Nabi Saw yang ia terima.

Mendengar umurnya yang begitu panjang, al-Thusi kaget dan bertanya lagi: Dalam kondisi lemah seperti ini,  bagaimana anda shalat? Ia menjawab: Allah berfirman: Mereka orang-orang yang selalu mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring. Aku bertanya lagi:

Apa makanan tuan? Aku makan air garam dan al-karrat, jawabnya. Aku bertanya lagi: Adakah sesuatu yang keluar darimu? Ia menjawab: Sesuatu yang sangat sedikit seminggu sekali. Aku bertanya tentang giginya. Ia telah menggantinya selama dua puluh kali.

Di kandangnya aku melihat binatang berkaki empat yang lebih besar dari gajah (al-fil) disebut dengan Zandafil. Aku bertanya tentang kegunaannya. Ia menjelaskan bahwa Zandafil dipakai untuk mengangkut pakaian para dayang ke istana.

Kerajaannya seluas empat tahun perjalanan bila ditempuh dengan itu. Luas ibu kotanya lima puluh farsakh. Setiap pintu masuk kerajaan dijaga oleh 120.000 ribu tentara. Jika terjadi satu peristiwa (pemberontakan) di satu pintu batalyon itu keluar untuk berperang tanpa meminta bantuan batalyon lain yang berada di dalam kota. 

Aku juga mendengarnya berkata: Aku masuk ke Maghrib. Sesampainya di wilayah berpasir, aku berjalan menuju kaumnya Musa. Aku lihat atap rumah mereka datar (tidak beratap seperti umumnya di Nusantara). Mereka menaruh makanan di luar tempat tinggal mereka. Orang-orang mengambil secukupnya. Dan sisanya ditinggal di sana. Kuburan mereka di rumah mereka. Kebun mereka dari pusat kota berjarak dua farsakh. Tidak ada orang yang menua (ini kata kuncinya). Mereka tidak berpenyakit. Sehat semua sampai mereka meninggal.

Mereka memiliki (hari) pasar. Bila seorang dari mereka hendak membeli sesuatu, ia pergi ke pasar itu dan menimbangnya sendiri. Mengambil barang seperlunya tanpa dihadiri yang punya. Bila hendak shalat, mereka datang, shalat, lalu kembali. Tidak ada permusuhan dan hate-speach di antara mereka. Yang ada hanya mengingat Allah Swt dan kematian.

-------

  • 1. Artikel ini terbit atas izin langsung dari Dr Muhammad Babul Ulum yang kini tinggal di Tasikmalaya, Jawa Barat.
  • 2. Republika.co.id ucapan terima kasih atas kiriman artikel ini dari DR Surya Suryadi di Universitas Leiden, Belanda.

 

 

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement