REPUBLIKA.CO.ID, Seperti disadari banyak kalangan, kaum Muslimin sedunia saat ini umumnya didera beragam persoalan, mulai dari dekadensi moral, ketimpangan pendapatan, konflik, hingga perang saudara.
Penyelidikan atas hal tersebut dapat dimulai dari sisi internal dan eksternal umat Islam. Jika ajaran-ajaran agama ini mendorong kebangkitan peradaban Islam pada zaman dahulu, mengapa tidak demikian halnya dengan masa sekarang?
Apakah penyebab kemalangan umat Islam merupakan rongrongan pihak luar, tetapi siapa pihak yang patut disalahkan?
Muslim Civilization: The Causes of Decline and the Need for Reform merupakan salah satu karya yang patut diperhi tungkan. Buku karangan intelektual Pakistan, Muhammad Umar Chapra, itu dengan tajam menganalisis sejumlah dugaan yang menyebabkan surutnya pengaruh Islam di kancah global.
Bagi Chapra, pertanyaan-pertanyaan krusial semacam itu patut disoroti terlebih da hulu, sehingga dapat ditemukan langkah-langkah apa yang seharusnya dikerjakan untuk memperbaiki kondisi para pemeluk agama ini.
Kebanyakan peneliti, menurut dia, menjadikan abad ke-12 sebagai patokan. Artinya, sebelum kurun waktu tersebut umat Islam pada umumnya belum begitu tertinggal.
Beberapa di antara mereka menyebutkan bahwa faktor terpenting dari kemunduran umat Islam adalah kemerosotan moral dan hilangnya sikap dinamis di tengah komunitas ini.
Hal tersebut diperparah dengan meluas nya sikap dogmatis dan kekakuan (rigidity). Beberapa juga menilai faktorfaktor yang lebih bersifat fisik, semisal munculnya peperangan dan invasi atas banyak wilayah umat Islam. Dugaan lainnya adalah menurunnya aktivitas intelektual dan sains, sedangkan golongangolongan non-Islam justru berpacu melakukannya.
Di tengah nuansa suram itu, Chapra menyuarakan optimisme yang mendasar. Sebab, jarang sekali ada komunitas di dunia yang hidup berkelanjutan selama lebih dari 1.400 tahun.
Umat Islam terbukti merupakan suatu komunitas yang mampu bertahan, tidak kunjung punah, meski diterpa macam-macam tantangan zaman.
Maka dari itu,kata dia, perlu dipahami juga bahwa kemunduran kaum pengikut Nabi Muhammad SAW bukanlah sebuah fenomena yang terjadi serta-merta.
Mereka masih memiliki potensi yang besar. Bila diibaratkan dengan seseorang yang mengikuti perlombaan maraton, umat Islam bukanlah pelari yang lumpuh sama sekali atau tersungkur di tepi gelanggang.
Dia hanya sedang terluka, sehingga untuk sementara waktu hanya mampu berjalan cepat, belum sampai berlari melesat. Semangat menyongsong masa depan, itulah pesan yang coba dihadirkan dalam buku setebal 210 halaman itu.
Untuk dapat melangkah dengan baik, menurut penulisnya, umat Islam juga perlu menyadari arti penting dua hal ini, yakni sumber ajaran dan pengalaman sejarah. Ihwal yang pertama tentu saja berkaitan dengan Alquran dan sunnah.
Secara eksplisit, Chapra meng ajak pembaca karyanya untuk memiliki kecenderungan kembali pada esensi agama ini. Dia mengutip sejumlah ayat Alquran yang menegaskan bahwa manusia sendiri merupakan arsitek takdir yang dijalaninya.
Di antaranya, Allah SWT tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra'd: 11).
Rasulullah SAW sendiri telah melarang umatnya untuk menjadi fatalis. Dengan pemahaman demikian, mengkaji sebab-sebab kemunduran justru men jadi langkah awal menuju kebangkitan.
Poin kedua, yakni jalannya sejarah yang telah dilalui umat Islam. Tentu saja ada banyak peristiwa yang saling berkaitan sehingga membentuk keadaan yang kini dialami mereka.