REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Isu tentang Palestina kerap menjadi isu kawasan ketimbang sebuah konflik lokal. Namun kini, hal itu dipandang telah berubah.
Yisrael Medad, jurnalis dan komentator Israel kelahiran Amerika, dalam artikelnya yang diterbitkan di JNS (Jewish News Syndicate), dilansir Jumat (18/9), menuliskan bahwa kerangka acuan dari 'konflik Palestina' selalu menjadi kerangka acuan yang mencakup seluruh dunia Muslim.
Namun, menurutnya, identifikasi dunia dan simpati untuk 'penderitaan Palestina' kini, dalam arti tertentu, memudar.
Fenomena demikian dikatakannya tidak lepas dari cacat historis konflik antara Arab dan Israel plus karakter Zionisnya yang telah dibuat selama satu abad. Meddad lantas memaparkan soal abad pan-Islam anti-Zionisme yang menjadi latar belakang sejarah konflik antara negara-negara Arab dan Israel.
Suleiman Mousa, menulis dalam International Journal of Middle East Studies, Vol. 9, No. 2, mencatat bahwa pada Juli 1922, pada saat Haji:
"Delegasi Palestina tiba di Makkah untuk menjelaskan kepada raja (Hussein ibn Ali) bahaya yang melekat dalam kebijakan Rumah Nasional Yahudi (yang akan didirikan di tanah Palestina). Pemerintah Inggris di Palestina, yang terganggu dengan kegiatan delegasi, mengirim surat kepada pemerintah Hijaz yang membantah keluhannya dan mengklaim bahwa orang Arab di Palestina bernasib baik dan makmur. Pemerintah Hijaz menolak untuk menerima pernyataan ini dan bersikeras bahwa Deklarasi Balfour harus dibatalkan." (Lihat PRO, FO 686/110) untuk korespondensi)
Kepala delegasi 1922 itu adalah Abdelqader Al-Muzaffar, yang sebelumnya memimpin ibadah haji ke Makkah. Anggotanya berlayar ke Sudan dan dari sana ke Jeddah, dan mereka tiba pada 11 Juli 1922. Mereka membentuk Komite Palestina Pro-Arab di semua pemberhentian dan melakukan pertemuan dengan para tokoh politik dan agama terkemuka. Tema yang mereka usung adalah "Bela Al-Aqsa".
Seperti yang dilaporkan Doar Hayom pada 23 Juli 1922, Organisasi Zionis di Mesir menerbitkan tanggapan atas klaim delegasi di surat kabar al-Muqaṭṭam. Tanggapan ini juga memperbaiki pernyataan Alfred Mond yang sengaja disalahartikan mufti, serta kritik yang ditujukan pada Norman Bentwich, sekretaris hukum Yahudi di Mandat Inggris, yang dianggap mufti terlalu Zionis.
Yisrael Meddad menyebut langkah mufti tersebut sebagai taktik propaganda oleh Dewan Muslim Tertinggi, yang disebutnya merupakan pengulangan dari upaya yang harus dilawan Chaim Weizmann di Mesir pada April 1918, ketika dalam perjalanan ke Palestina, saat ditegaskan bahwa Inggris telah memberikan hak kepada Zionis untuk menggantikan Dome of the Rock dengan Kuil Yahudi.
Tiga hari sebelumnya, Vaad Leumi di Yerusalem terpaksa menerbitkan penolakan bahwa bendera Zionis telah dikibarkan dari atas Kubah Emas tersebut, yang disebut Meddah sebagai fitnah yang akan dihidupkan kembali pada 1929.
Pada 17 Juli, Komisaris Tinggi Herbert Samuel sendiri menyatakan, seperti yang diberitakan di Doar Hayom19 Juli, bahwa ia dipaksa untuk menjawab rumor bahwa Omar dan Al-Aqsa dalam bahaya, dan akan disingkirkan dari kendali Muslim. Meddad menyebut itu sebagai rumor tak berdasar yang disebarkan delegasi yang tengah berada di Makkah mencari bantuan untuk membela hak-hak Muslim.
Dua delegasi lainnya mengikuti pada tahun berikutnya, satu ke Hijaz dan satu lagi ke India. Yang ketiga ini terdiri dari Jamal Al-Husseini, seorang mufti Haifa, Imam Mohamed Rashid Reda dan Syekh Ibrahim al-Ansari, seorang pengkhutbah di Temple Mount (Haram asy-Syarif). Mereka tetap di India dari November 1923 hingga Juni 1924. Di sana, mereka mengumpulkan uang dan terlibat dalam aktivitas anti-Zionis.
Namun demikian, Nicholas E Roberts (Associate Profesor di bidang sejarah dan salah satu ketua program Studi Global dan Internasional di Sewanee), mengabaikan delegasi 1922 tersebut. Demikian juga halnya dengan Yehoshua Porath, sejarawan Israel dan profesor dalam sejarah Timur Tengah, meskipun ia memasukkan delegasi keempat pada 1924.
Dari aktivitas para delegasi tersebut, sejumlah besar dana terkumpul untuk pekerjaan renovasi besar dan konstruksi di dalam kompleks Haram Asy-Syarif. Program amal tersebut merupakan instrumen penting yang mengikat umat Islam di seluruh dunia dalam perasaan religius dengan Arab Palestina, serta bertindak sebagai alat mobilisasi politik.
Sementara itu, Meddad menyebut bahwa pemilihan India sebagai negara tujuan delegasi tersebut dipandang sangat cerdik. Seperti yang diteliti PR Kumaraswamy, India cukup mampu mengenali dan mengakui dimensi religius dari masalah Palestina.
Pada April 1921, setahun sebelum pengukuhan Mandat Palestina di Liga Bangsa-Bangsa, Mahatma Gandhi mengamati bahwa, "Kaum Muslim mengklaim Palestina sebagai bagian integral dari Jazirat-ul-Arab (tanah Islam di Arab). Mereka terikat untuk mempertahankan hak asuh, sebagai perintah Nabi."(CWMG, 2000, hlm. 530).
Dia melanjutkan dan berargumen, "Orang Yahudi tidak dapat menerima hak berdaulat di tempat yang telah dikuasai selama berabad-abad oleh kekuatan Muslim dengan hak penaklukan agama. Tentara Muslim tidak menumpahkan darah mereka dalam perang terakhir dengan tujuan menyerahkan Palestina di luar kendali Muslim."
Dengan kata lain, menurut Gandhi, non-Muslim tidak bisa memperoleh yurisdiksi berdaulat atas Palestina. Kongres Nasional India juga mengadopsi sikap anti-Zionis pada pertemuan di Lucknow pada Juni 1921.
Komite Kongres Seluruh India menyatakan bahwa "kecuali Jazirat-ul-Arab dibebaskan dari semua kendali non-Muslim, tidak akan ada perdamaian dan kepuasan di India" (Zaidi, 1985, hlm. 30). Beberapa tahun kemudian, partai tersebut menuntut penghapusan kendali asing dari Jazirat-ul-Arab" (Zaidi, 1985, hlm. 32).
Mufti Haj Amin El-Husseini bertemu Ali Bersaudara selama ibadah Haji 1924 dan 1926 (Kupferschmidt, 1987, p. 129), saat menguburkan Muhammad Ali, kepala Muslim India, di tembok Haram pada Januari 1931. Shaukat (Shawkat) Ali adalah tokoh sentral dalam penyelenggaraan Konferensi Yerusalem pada Desember tahun yang sama.
Karena itu, dalam satu dekade terpilih oleh Herbert Samuel untuk menjadi Mufti, El-Husseini telah membangun basis keuangan yang kokoh di seluruh Timur Tengah dan sekitarnya.
Dia juga telah menciptakan kekuatan politik yang dominan dalam Mandat itu sendiri yang melarang perbedaan pendapat dari garis kekerasan dan ekstremisnya. Langkah Mufti tersebut telah memaksa Inggris untuk menciptakan status quo baru di Tembok Barat.
Meddad menyebut sang mufti juga telah memulai kampanye teror pada 1920, 1921 dan 1929 yang, hingga hari ini, berfungsi sebagai satu-satunya cara untuk "bernegosiasi" dengan orang-orang Yahudi. Di samping, telah membentuk blok pendukung dari semua negara Arab dan negara dengan mayoritas Muslim.
Satu ketergantungan eksternal tambahan dari mufti adalah pengaturan pada 1937 dengan bantuan Inggris untuk memiliki sekutu regional Arab mereka, yakni Raja-raja Arab, termasuk Amir Abdullah dari Transyordania, Raja Ghazi dari Irak dan Raja Abdul Aziz ibn Saud dari Arab Saudi.
Raja-raja Arab tersebut menengahi tujuan pemberontakan Komite Tinggi Arab yang telah dimulai pada April 1936. Sayangnya, keterlibatan mereka menciptakan tekanan yang serius di Inggris Raya, dan pada 1939, tekanan Pan-Arab memunculkan White Paper yang memungkiri niat awal untuk menyusun kembali rumah nasional Yahudi yang kemudian meningkatkan himpitan di London.
Pada 1948, negara-negara Arab menginvasi Israel. Sejak itu, kata Meddad, masalah Palestina selalu menjadi konflik regional daripada konflik lokal.
"Mengingat sejarah ini dan memahami apa yang telah dilakukan 100 tahun sebelumnya, orang dapat menyadari bahwa penandatanganan Abraham Accords di White House Lawn pada 15 September dengan pencabutan boikot terhadap Israel dan janji untuk membangun perdamaian, diplomatik dan hubungan persahabatan, kerjasama dan normalisasi penuh hubungan antara mereka dan rakyat mereka adalah kebalikan besar dari warisan mufti dan kesempatan untuk masa depan yang menjanjikan," kata Meddad memandang fenomena memudarnya simpati untuk 'penderitaan Palestina' dari dunia Muslim.
Sumber: https://www.jns.org/opinion/reversing-a-century-of-pan-islamic-anti-zionism/