REPUBLIKA.CO.ID, EDMONTON -- Sebuah masjid di kota Edmonton, Kanada, dicoreti dengan tulisan bernada rasialis. Unit kejahatan berlatar kebencian dan kekerasan ekstremisme pada Layanan Kepolisian Edmonton saat ini tengah menyelidiki kasus coretan tulisan dan gambar rasialis di dinding Masjid Al Rashid tersebut.
Juru bicara kepolisian dalam sebuah email ke CBC News, Selasa (14/7), mengatakan, coretan di masjid tertua di Kanada itu dilaporkan pada Senin (13/7). Bentuk vandalisme (tindakan pengrusakan) itu merupakan yang terbaru dalam serangkaian insiden penting di masjid Edmonton utara tersebut.
Jamaah masjid pun mendorong masyarakat berbicara menentang tindakan berlatar kebencian yang kian berani. Imam masjid tersebut, Sadique Pathan, mengatakan mereka menyadari ada individu yang benar-benar ingin menciptakan sejumlah permusuhan antarsesama warga Edmonton.
"Kita sepakat ini bukan hanya sesuatu yang akan berlalu. Saya pikir kita akan menghadapi semakin banyak dari ini," kata Pathan, dilansir di CBC News, Rabu (15/7).
Pathan mengungkapkan, vandalisme itu terjadi sekitar pukul 02.30 pada Sabtu (11/7) lalu. Tindakan itu tertangkap di kamera pengintai di masjid tersebut. Menurutnya, rekaman tersebut telah diserahkan kepada polisi.
Pathan mengatakan, masjid sering menjadi target dari reaksi negatif bagi kebencian dan diskriminasi. Ia menyebut nasionalis kulit putih dari semua garis melihat bangunan ibadah ini sebagai simbol dari apa yang mereka benci dan takuti.
"Saya pikir ada beberapa yang suka bersekutu dengan isu nasionalisme sejati. Mereka tidak menerima mereka yang tidak memiliki pandangan yang sama. Dan saya pikir entah bagaimana, masjid telah menjadi target sering dari reaksi negatif yang luar biasa untuk menyatukan mereka semua," katanya.
Salah satu gambar yang disemprotkan di dekat pintuk masuk masjid adalah tulisan '114', simbol yang digunakan oleh kelompok kebencian supremasi kulit putih. Sementara apa yang digambarkan Pathan sebagai sebuah 'bintang Arya'. Sebuah akronim yang merujuk pada teori konspirasi mantan presiden Amerika Serikat Barack Obama adalah seorang Muslim yang taat yang juga dilukiskan di pilar-pilar yang mengapit pintu masuk utama masjid.
Pathan mengaku ngeri melihat tempat ibadah menjadi sasaran. Pasalnya, jelas ada orang-orang di komunitas yang menderita rasialisme dan diskriminasi. Sehingga, tempat yang aman bagi mereka adalah tempat ibadah.
Ia khawatir Masjid Al Rashid menjadi target meningkatnya permusuhan. Sebelumnya ia berpikir hal itu akan berlalu begitu saja. Namun, setelah dipelajari, ia memandang gerakan-gerakan rasialis demikian tidak akan menjauh jika mereka mengabaikannya. Pathan berharap terdapat lebih sedikit toleransi terhadap hal-hal seperti ini.
Namun begitu, Pathan mengungkapkan komunitas masjid terus tumbuh lebih kuat dalam menghadapi diskriminasi. Ia mengatakan, keimanan merekalah yang mendorong mereka untuk membela keadilan sosial dan kesetaraan.
Masjid Al Rashid telah berulang kali menjadi sasaran. Pada Mei 2020, seorang pria merekam dirinya sendiri dalam serangkaian video yang mengintai masjid tersebut. Dalam video-video itu, dia menggambarkan bulan suci Ramadhan sebagai 'bombathon', yang berarti penghinaan terhadap Islam. Pria tersebut tampaknya juga memantau pergerakan jamaah yang tengah beribadah sembari memakan sandwich.
Pada Januari 2019, video keamanan merekam dua pria, yang disinyalir memiliki ikatan dengan kelompok kebencian Islamofobia sayap kanan. Kedua pria itu memasuki Masjid Al Rashid ketika jamaah tiba untuk sholat Jumat. Orang-orang itu kemudian terlibat perselisihan dengan anggota komunitas di luar dan menyebarkan videonya di media sosial.
Direktur komunikasi masjid Al Rashid, Noor Al-Henedy, mengatakan bahwa perusakan itu terjadi pada waktu yang sulit. Menurutnya, komunitas tersebut menemukan kenyamanan dalam keyakinan mereka. Ia menyayangkan aksi kebencian tersebut.
Sebab di tengah pandemi saat ini, menurutnya, masyarakat seharusnya saling membantu untuk keluar dari krisis Covid-19. Al-Henedy mengatakan, ia percaya tekanan pandemi itu dapat memicu kebencian dan diskriminasi.
"Orang-orang menghadapi situasi yang sulit ini secara berbeda. Beberapa dari kita menjadi lebih dekat bersama-sama dan beberapa dari kita mencoba menemukan seseorang untuk disalahkan, atau budaya untuk disalahkan, atau agama untuk disalahkan," katanya.
Sementara itu, petugas keamanan kerap hadir untuk sholat dan acara besar. Al-Henedy mengatakan bahwa masjid Al-Rashid enggan membatasi akses masyarakat. Pasalnya, masjid adlaah tempat bagi semua orang.
"Tidak ada komunitas yang ingin menjalani kehidupan seperti itu, di mana mereka perlu merasa takut di setiap sudut. Dan kami percaya dari lubuk hati kami bahwa kami memang mendapat dukungan dari komunitas kami," ujarnya.
Sementara itu, Al-Henedy mengatakan insiden tersebut adalah pengingat bahwa pendidikan publik tentang Islam masih diperlukan. Salah satu jamaah yang telah menjadi bagian dari komunitas masjid tersebut selama lebih dari tiga tahun, Syed Moiz, mengungkapkan perasaannya.
Ia mengatakan, ia biasa menghabiskan lebih banyak waktu di masjid daripada di rumah antara sholat lima waktu dan pekerjaan sukarela setiap harinya. Moiz kemudian menyebut bahwa vandalisme tidak masuk akal dan menyakitkan. Hal itu merasa membuatnya terganggu.
"Itu seperti kamu pulang dan melihat rumahmu dirampok. Kamu melihat cat yang disemprot di seluruh masjid dan ini menyedihkan. Saya benar-benar kecewa tentang itu dan banyak orang di komunitas juga bersedih," kata Moiz.
https://www.cbc.ca/news/canada/edmonton/edmonton-mosque-racist-graffiti-1.5649535?cmp=rss