Selasa 19 May 2020 13:46 WIB
Islam

Islam dan Persoalan Higiene di Hindia Belanda

Kisah pemerintah kolonial Belanda dalam menyadarkan pribumi peduli kesehatan

'Jurnal Sejarah'  Vol. 1/1 (2017) . Ilsutrasinya memakai gambar rapat Sarekat Islam.
Foto:

Hal-hal inilah yang menurut Van Der Stok perlu diperhatikan terkait penyadaran pentingnya higiene di kalangan warga pribumi.Selain kesehatan tubuh, menurutnya, Islam juga memberi perhatian terhadap

kesehatan sosial. Penyalahgunaan opium merupakan kanker sosial yang cukup menyebar di Timur. Ini, menurutnya, merupakan ancaman terhadap masyarakat Eropa, sebab kebiasaan buruk ini bisa memberi dampak negatif.

Ajaran Islam, menurut sang dokter, dengan jelas melarang konsumsi substansi yang bisa membuat seseorang kehilangan kesadaran, seperti alkohol dan opium misalnya. Hanya saja, seperti diakuinya, sekalipun larangan ini cukup tegas, mereka tidak menghiraukan. Itulah kenapa kebiasaan buruk ini masih cukup menyebar. Tapi dengan menggunakan dasar agama, ditambah dengan penjelasan

kesehatan, ia yakin bahwa kampanye higiene terkait permasalahan ini bisa lebih efektif.

Dari seluruh pemaparan terkait Islam dan higiene, ada satu yang tampaknya tidak menjadi perhatian Van der Stok: praktek sunat dan penyakit kelamin. Dalam perdebatan untuk mencegah penyebaran penyakit ini, praktek sunat merupakan salah satu yang sering dibahas. Setidaknya itulah yang terjadi di Hindia Belanda sejak akhir abad ke- 19. Kenyataan bahwa sedikit dari mereka yang melakukan praktek sunat tertular penyakit kelamin membuat sebagian dokter percaya bahwa kebiasaan ini merupakan jalan keluar dari ancaman penyakit kelamin.

Bastiaan Marinus van Driel (1885-1939) menulis di tahun 1914vbahwa penis yang terinfeksi sifilis, selalu dikaitkan dengan keberadaan kulup. Demikian, praktek sunat pun menurutnya merupakan sebuah upaya  untuk mencegah penyebaran penyakit ini.

Tulisan Van Driel ini kemudian mendapat tanggapan dari A. E. Sietsen tiga tahun kemudian. Dalam artikelnya, Sietsen berpendapat bahwa bisa jadi praktek sunat merupakan cara untuk mencegah penyebaran penyakit kelamin. Hanya saja, menurutnya, mengatakan bahwa penyakit kelamin kurang menyebar di kalangan pribumi merupakan pernyataan yang kurang bisa dibuktikan.

Menanggapi kritik ini, Van Driel juga mengakui bahwa tidak semua pribumi yang disunat terhindar dari penyakit kelamin; ia menemukan bahwa penularan juga

terjadi di antara mereka yang melakukan praktek sunat. Itulah kenapa ia pun merasa perlu untuk melakukan pengujian ulang, dan berharap ada orang lain  yang melakukan kajian komprehensif terkait permasalahan ini.

Van den Burg juga pernah menyinggung permasalahan ini dalam karya monumentalnya De Geneesheer in Nederlandsch -Indië, jilid 2, ketika sedang mengulas penyakit kelamin. Ia menemukan kenyataan bahwa orang pribumi lebih sedikit tertular penyakit kelamin dibandingkan orang-orang Eropa.

Di lingkungan militer, hal itu bisa dijelaskan dengan fakta bahwa serdadu pribumi terkadang tinggal bersama istrinya, yang membuat mereka lebih sedikit berkunjung ke tempat pelacuran. Selain itu, lebih sedikitnya orang pribumi tertular penyakit kelamin juga merupakan buah dari adanya praktek sunat di kalangan para laki-laki dan perempuan mereka.

“Sebagai penganut muslim para lelaki dan perempuannya disunat. Buat para laki-laki, praktek ini, yang membuat penis terbuka, tidak lagi tertutup oleh kulup, menjadikan mereka lebih kecil

kans-nya tertular”, tulisnya, menunjukan betapa dia melihat pengaruh ajaran Islam dalam pencegahan penularan penyakit kelamin.

Van den Burg tentu saja paham soal Islam sebagai agama yang doktrinnya bisa dimanfaatkan untuk pencegahan penularan penyakit kelamin. Iamengetahui dan memahami pidato Van der Stok di kongres internasional di Den Haag tahun 1883. Ia memulai uraian tentang Gezondheidsleer (kesehatan masyarakat) di dalam  Encylopaedie van Nederlandsch-Indië yang terbit tahun 1897 dengan

memberi pemaparan terkait pidato Van Der Stok.

Hanya saja, dalam uraiannya  ini, ia tidak sedikit pun menyinggung persoalan praktek sunat di kalangan  penganut Islam dalam kaitannya dengan pencegahan penyebaran penyakit kelamin.

Memang praktek sunat tidak melulu dikaitkan dengan ritual dalam Islam. Schrieke menunjukan bahwa praktik ini juga dilakukan oleh suku bangsa yang ada di Hindia Belanda sebagai ritual memasuki masa puber seorang anak laki-laki. “Demikian, kami melihat bahwa pada periode ini penis dianggap sebagai

objek yang sangat berbahaya. Teknik psikis (psychical technics) masyarakat primitif, karenanya, berupaya untuk menetralisir efek jahat darinya”, tulisnya.

Pernyataan ini menunjukan bahwa ada bagian dalam organ seksual laki-laki yang dianggap sebagai bahaya. Selain itu, praktek sunat juga dianggap sebagai penangkal bahaya yang akan muncul ketika seorang anak laki-laki menjadi dewasa. Demikian, penis dipandang sebagai sumber bahaya dan “demikian kami melihat bahwa sunat merupakan salah satu dari praktek memutilasi bagian tubuh yang dilakukan oleh masyarakat primitif untuk melawan pengaruh jahat yang muncul pada saat memasuki masa puber.

Schrieke memandang praktek ini sebagai psychical technics, yaitu upaya untuk menjauhkan bahaya dengan mencari ketenangan psikis melalui praktek-praktek yang sebetulnya tidak memiliki hubungan kausalitas. Praktek sunat tidak menjadi  sebab hilangnya bahaya di masa puberitas, tapi itu dianggap memberi ketenangan seolah sudah mendapatpenangkal bahaya.

Meskipun demikian, ia juga melihat efek positif dari praktek sunat, sesuatu yang bisa jadi tidak dilihat

oleh suku bangsa yang mempraktekannya: bahwa sunat berguna untuk kepentingan higiene tubuh. “Ketika mentalitas tidak lagi diatur oleh cara berpikir asosiatif dan hubungan sebab akibat sudah mulai dipahami, maka sainsbisa menentukan bahwa pada kondisi tetentu sunat harus dipraktekan sebagai

sebuah upaya penerapan aturan higiene”, ungkapnya. Ia juga menambahkan, “jadi teknik psikis (psychical technics) bisa kemudian berubah menjadi teknik saintifik (scientific technics) jika dipandu oleh pengetahuan yang didasarkan pada  pengalaman dan eksperimen”.

Dengan merujuk kepada apa yang ditulis oleh Schrieke, praktek sunat memang tidak selalu berkaitan dengan ajaran Islam. Kenyataan ini membuat kita  bisa memahami dengan mudah kenapa uraian terkait hal ini absen dalam pidato Van Der Stok. Meskipun demikian, karena praktek sunat sudah terlanjur  diidentikkan dengan ritual keagamaan, maka agama Islam pun lagi-

lagi dilihat sebagai dasar argumen pendukung propaganda higiene.

Setidaknya itulah yang bisa dibaca dari artikel Ahmad Ramali, “Bijdrage tot de Medisch-Hygiënische Propaganda in eenige Islamitische streek”, yang akan dibahas pada bagian berikut, dengan meletakkannya dalam konteks lebih luas di tahun 1930-an sebagai tahun ketika propaganda higiene sedang intensif diterapkan.

--------------------

* Gani A. Djaelani, Ph.D, adalah pengajar di Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran. Menyelesaikan program doktor di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Paris, dengan dissertasi berjudul La question de l'hygiène aux Indes-Néerlandaises: les enjeux médicaux , culturels et sociaux (1830-1942) (Perihal Kebersihan di Hindia Belanda: permasalahan medis, budaya, dan sosial (1830-1942)), ia memiliki minât penelitian terkait sejarah Indonesia abad ke XIX dan awal abad ke XX dengan spesialisasi ilmu pengetahuan, kedokteran dan teknologi. Bukunya yang telah terbit adalah Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942 (Syabas books: 2013).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement