Selasa 19 May 2020 13:46 WIB
Islam

Islam dan Persoalan Higiene di Hindia Belanda

Kisah pemerintah kolonial Belanda dalam menyadarkan pribumi peduli kesehatan

'Jurnal Sejarah'  Vol. 1/1 (2017) . Ilsutrasinya memakai gambar rapat Sarekat Islam.
Foto:

Selain itu, jumlah penduduk yang banyak juga menyiratkan pertahanan militer yang kuat. Pemikiran yang umum pada abad ke-18 dan 19 ini bersandar pada ideologi merkantilisme, yakni sebuah sistem yang meletakkan kehidupan sosial dan ekonomi untuk kekuasaan politik dan negara.

Demikian, apa yang  dibutuhkan oleh seorang penguasa adalah, pertama, jumlah penduduk yang banyak; kedua, jumlah yang banyak itu harus dipersiapkan dalam kerangka  pemenuhan kebutuhan materi ; dan, ketiga, bahwa penduduk yang banyak itu harus selalu berada di bawah kendali pemerintah supaya selalu bisa dipergunakan untuk kebijakan publik dalam bentuk apapun yang diperlukan.

Dalam kerangka ideologi merkantilis yang pada prakteknya mendapat perbedaan penekanan di tempat dan waktu berbeda, satu hal yang selalu sama: perhatian yang serius terhadap masalah kesehatan memberi jaminan terhadap kemaslahatan masyarakat mewujud dalam program higiene. Sebab, ia melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia yang tujuan utamanya adalah menjamin kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Itulah kenapa pembahasan terkait hal ini tidak pernah bisa dilepaskan dari percakapan tentang negara. Wujud dari seriusnya perhatian negara terkait persoalan ini adalah pertemuan rutin para dokter perwakilan negara untuk membahas persoalan higiene dalam acara yang dinamai Congres International d’Hygiène et de Demographie.

Dalam kongres kelima yang diselenggarakan di Den Haag tahun 1883, W. H. de Beauort, sang ketua kongres, dengan jelas menyampaikan bahwa praktek higiene tidak bisa dipisahkan dari negara. Kekuasaan negara untuk memastikan penerapan prinsip higiene sangat diperlukan sebab hal ini terkait dengan kemaslahatan masyarakat secara umum. Ia juga memberi penekanan terhadap kenyataan bahwa saat ini dokter tidak lagi bekerja untuk mengobati si sakit, tapi juga mencegah datangnya penyakit itu sendiri. “Para dokter di masa kini, tidak puas hanya dengan kesehatan para karibnya, tapi juga kesehatan umat manusia secara keseluruhan. Mereka tidak puas menyembuhkan si sakit, tapi berusaha menghilangkan penyakit itu sendiri”, ungkapnya (Congrès International d’Hygiène et de Démographie,1884: 51).

Pernyataan De Beaufort ini cukup  mewakili apa yang ada di pikiran para dokter yang sangat percaya bahwa dengan kemampuan ilmu pengetahuan bisa membuat kehidupan lebih baik. Demikian, dalam konteks seperti ini, pidato Van der Stok menjadi mudah dipahami. Tapi, apa yang ia pelajari dari Islam sehingga bisa berkesimpulan bahwa ajarannya bersesuai dengan prinsip higiene?

Pada akhir abad ke-19, Lodewijk Christiaan van den Berg (1845-1927), seorang ahli Islam yang juga pernah menjabat sebagai penasihat hukum Islam untuk negara jajahan pada tahun 1878, mengadakan sebuah survey terkait buku-buku apa saja yang dipakai sebagai bahan ajar di pesantren-pesantren Jawa dan Madura.

Dalam artikel yang terbit tahun 1886 ia menyebutkan bahwa para santri memulai studinya dengan mempelajari kitab-kitab seperti Safina Al-Najah, Sullam Al-Taufiqu, Al-Sittin Mas’alah, Minhaj Al-Qawim, Fath Al-Qarib, dan Fath Al-Mu’in, untuk menyebut beberapa sebagai  contoh. Kitab-kitab fiqh itu umumnya memulai pembahasan dengan persoalan al-thaharah (kebersihan, higiene), diikuti dengan bab al-salat, bab al-zakat, bab al-shiyam dan bab al-haj wa al-‘umrah.

Beberapa kitab, bahkan hanya membahas lima persoalan ini, walaupun kitab-kitab lainnya ada juga yang merambah ke pembahasan mengenai kehidupan sosial secara umum. Dengan susunan pembahasan seperti itu, persoalan bersuci mendapat tempat  yang paling penting; ia menjadi dasar dari ritual ibadah yang lain.

Bersuci di sini tentu saja terkait dengan aktifitas fisik, mulai dari praktek berwudlu sampai dengan mandi. Van der Stok yang melakukan studi tentang Islam pada periode yang sama juga dengan mudah menemukan kesesuaian ajaran Islam yang mendukung kampanye higiene. Kenyataan bahwa sebagian besar penduduk pribumi tidak bersih, tidak memiliki kebiasaan membersihkan badan, pakaian, dan perangkat lainnya, menurut sang dokter, cukup menunjukan betapa mereka kurang memahami ajaran-ajaran agamanya yang sangat memberi penekanan terhadap pentingnya menjaga kesehatan dengan mempraktekkan hidup bersih.

“Demikian, mencuci anus setelah buang air besar (arab: istindja; melayu: tjebok), atau, ketika tidak ada air –misal ketika di gurun –membersihkan anus dilakukan dengan menggunakan pasir (arab: tajammom) merupakan perintah yang wajib oleh Al-Quran”, ujarnya.

Van der Stok paham betul bahwa sebagian besar pribumi yang taat sebetulnya mengamalkan semua ritual keagamaan yang berkaitan dengan kebersihan ini. Hanya saja apa yang mereka lakukan tidak disertai dengan kesadaran akan membersihkan diri dalam kerangka higiene; mereka melihat  praktek itu hanya sebatas serangkaian formalitas keagamaan. Sudut pandang sang dokter tentu saja tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. Sebab, ia berbicara  higiene dengan standard eropa yang kemudian dipakai untuk menilai kebiasaan orang-orang pribumi.

Sudut pandang ini tentu menyiratkan banyak prasangka kolonial. Demikian, karena anggapannya tadilah, peran pendidikan populer terkait higiene menjadi sangat utama, untuk memberi pemahaman terkait aspek kesehatan dari serangkaian ritual keagamaan ini. Sang dokter kemudian memberi contoh soal genangan air yang tersengat sinar matahari.

Menurutnya ini adalah jenis air yang tidak baik untuk dikonsumsi karena kondisi air seperti itu sangat mudah mengembangkan senyawa organik yang berbahaya bagi tubuh. Ajaran Islam pun melarang penggunaan air yang seperti itu. Penggunaan air sungai juga perlu diperhatikan.

Pada dasarnya memang air sungai itu bisa dikonsumsi. Tapi kenyataan bahwa sebagian besar warga pribumi membersihkan tubuhnya di sungai, dan seringkali mereka juga membuang kotoran ke dalamnya, maka penggunaan air sungai pun harus lebih hati-hati. Terakhir, masih terkait air, ketika terjadi epidemi, kolam air tempat wudlu (arab: midhaät), menjadi tempat yang berbahaya. Penggunaan satu kolam oleh orang banyak sangat memudahkan penyebaran suatu penyakit.

Selain itu berkumpulnya orang di masjid dalam satu waktu pun dianggap cukup berisiko dalam penyebaran penyakit terutama ketika wabah epidemi muncul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement