REPUBLIKA.CO.ID, Gani A. Djaelani, Ph.D, pengajar di Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran*
Berikut ini kami sajikan tulisan Gani A. Jaelani yang dimuat dalam 'Jurnal Sejarah' Vol. 1/1 (2017) yang diterbitkan oleh kalangan para sejawaran yang tergabung dalam 'Masyarakat Sejarawan Indonesia'.
Tulisan tersebut secara khusus mengangkat persoalan Islam di Indonesia, terutama sebagai bahan pejalaran hari ini ketika tengah merebak pandemi wabah Corona dan berbagai hal lain yang terkait kesehatan masyarakat.
Artikel asli dalam jurnal tersebut demi pertimbangan keterbatasan halamaman, kami pecah menjadi dua tulisan. Republika.co.id memuat kembali tulisan ini atas seizin pengelola Jurnal Sejarah' tersebut. Artikel kami muat dengan menghilangkan catatan kaki dengan tujuan agar tulisan lebih bisa dinikmati orang awam secara luas.
Mengenai tulisan ini sangat menarik dan bermanfaat karena mengangkat berbagai topik tentang interaksi dan keterlibatan Islam di Indonesia dengan jaringan global, penyebaran kegiatan keagamaan di berbagai tempat di Indonesia, perkembangan politik dan saling singgung pengaruh ajaran Islam di dalam lingkup budaya lokal masyarakat Indonesia. Begini tulisan selengkapnya:
Pendahuluan
Pada akhir abad ke-19, pemikiran mengenai pentingnya menyebarluaskan gagasan tentang gaya hidup bersih mulai menjadi perhatian pemangku kebijakan kolonial untuk menjamin kesehatan penduduk di wilayah jajahan. Pemikiran ini tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan pemerintah kolonial akan adanya tenaga kerja pribumi yang bertubuh sehat.
Hal ini sejalan dengan politik penerapan politik liberal di bidang ekonomi dengan semakin banyaknya perusahan-perusahaan swasta yang membuka perkebunan pada paruh kedua abad ke-19. Keberadaan tenaga kerja yang sehat dan kuat merupakan jaminan akan produktifitas ekonomi.
Institusi kedokteran sejak pertengahan abad ke-19 sudah terlibat dalam perdebatan ini. Pendirian sekolah Dokter Djawa pada tahun 1851 dan intensifikasi program vaksinasi merupakan bentuk nyata dari keterlibatan para dokter dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Demikian, para dokter yang berada di barisan terdepan dalam permasalahan ini kemudian melihat ajaran-ajaran Islam sebagai landasan kebudayaan untuk penyebaran aturan hidup higienis, karena prinsip- prinsip ajaran agama ini banyak yang sesuai dengan dasar higienitas. Pada titik inilah Islam dan politik higiene bertemu.
Hanya saja, kaitan antara Islam dan higiene ini tidak banyak dibicarakan, padahal pembahasan mengenai hal ini bisa memperkaya kajian sejarah Islam maupun sejarah kesehatan itu sendiri. Atas dasar itu, tulisan ini dimaksudkan untuk mengelaborasi hubungan antara Islam dan higiene di Hindia Belanda sebagai ikhtiar memperkaya diskursus sejarah Islam di Indonesia. Penggunaan sumber-sumber yang berasal dari catatan para dokter juga merupakan sebuah upaya untuk mencari kemungkinan lain dalam penggunaan sumber-sumber lain untuk pembahasan tema ini.
Demikian, tulisan ini merupakan sebuah percobaan untuk membicarakan sejarah Islam di Indonesia pada jaman kolonial dari sudut pandang para dokter.
Ajaran Islam dalam Pandangan Dokter:
Pidato Van der Stok di Congrès International d’Hygiène et de Démographie tahun 1883
Dalam kongres internasional tentang higienitas dan demografi (Congrès International d'Hygiène et de Démographie) yang diselenggarakan di Den Haag pada tahun 1883, Nicolaas Pieter van der Stok, dokter militer belanda untuk Hindia Timur, menyampaikan pemaparannya tentang pemanfaatan Islam sebagai bahan untuk kampanye higienitas di kalangan penduduk Jawa, Sunda dan Madura
(Congrès International d’Hygiène et de Démographie,1884: 284).
Ia juga menyampaikan bahwa beberapa tahun sebelumnya pernah diminta untuk menulis buku panduan tentang pentingnya higienitas yang didasarkan kepada prinsip-prinsip Islam dalam bahasa Melayu, Jawa, dan Madura. Hasil karyanya ini memang tidak pernah diterbitkan, sebagaimana dikatakan C. L. van den Burg dalam tulisannya tentang kesehatan masyarakat (Gezondheidsleer, Hygiëne) di dalam Encylopaedie van Nederlandsch-Indië, terbittahun 1897 (Lith, Spaan, dan Fokkens,1897: 578–582).
Van der Stok dalam pemaparannya menyadari bahwa: kalaulah pekerjaan memopulerkan sebuah ilmu pengetahuan higiene yang melibatkan banyak aspek kehidupan sosial dan pribadi sudah sulit, pekerjaan yang sama menjadi dua kali lebih berat ketika kita kemudian harus berurusan dengan penduduk yang kurang beradab, seperti para pribumi kita, yang moral dan kebiasannya sebagian diatur berdasarkan tradisi (adat) –dan tak ada yang bisa menggoyahkan keyakinannya ini –dan sebagian didasarkan pada hukum dan aturan sebuah agama yang menyebutkan musuh segala sesuatu yang berasal dari orang kafir (Congrès International d’Hygiène et de Démographie, 1884: 285).
Van der Stok kemudian merasa perlu mencari sekutu, terutama di kalangan penduduk yang memiliki pengaruh kuat, seperti pemuka agama, untuk meminimalisir perlawanan dan terutama melawan orang pribumi dengan senjata mereka sendiri. Dan juga “itulah kenapa, saya mempelajari ajaran Islam untuk
mengambil apa-apa yang bisa berguna untuk tujuan saya (dalam kampanye higiene), dan itu, tentu, tanpa mengindahkan maksud utama ajaran dan larangan itu ditujukan”, ungkapnya (Congrès International d’Hygiène et de Démographie,1884: 285). Tantangan utama dalam propaganda higiene di Hindia Belanda menurutnya adalah fakta bahwa sebagian besar masyarakatnya bersikap fatalis, pasrah menerima apa-apa yang menimpa mereka. Ini tentu sangat bertentangan yang gagasan higiene yang mengandaikan serangkaian tindakan rasional sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari penyakit.
Meskipun demikian, Van der Stok menemukan bahwa di dalam Islam terdapat konsep “ihtijar”.
Inilah pintu masuk yang paling tepat, sebab dalam konsep ini terdapat penekanan terhadap pentingnya upaya menjaga kesehatan dan memanjangkan umur, dan, terutama, sikap pengabaian terhadap kesehatan, menurutnya, bisa dimaknai sebagai laku bunuh diri. Dengan pemahaman ini ungkapan umum kaum pribumi yang sering mengatakan “biarkan kami; apa yang terjadi semuanya telah tertulis!”, bisa dibantah.
Pidato Van der Stok dalam kongres tersebut harus dilihat dalam kaitannya dengan perkembangan pemikiran higiene di abad ke-19 yang selalu dikaitkan dengan pembentukan masyarakat yang produktif di Eropa. Pemerintah kolonial yang bersandar pada kesehatan masyarakat jajahannya sebagai penjamin produktifitas negara pun menjadikan higiene sebagai agenda politik yang sangat penting di akhir abad ke-19. Upaya meningkatkan kesehatan para pekerja perkebunan di Deli yang diprakarsai oleh Schüffner melalui serangkaian program higiene di perkebunan merupakan salah satu bukti dari itu (Schüffner dan Kuenen,1910). Selain itu, upaya memerangi penyakit tropis juga dilakukan dengan lebih terarah dengan berdirinya Geneeskundig Laboratorium te Weltevredentahun 1888.
Kesadaran akan pentingnya menjamin kesehatan penduduk sebagai syarat kekuatan suatu negara bisa ditelusuri sampai abad ke 17. Pada tahun 1668, misalnya, Joachim Becher, seorang dokter Jerman yang juga merupakan ahli kimia dan pemikir politik, menerbitkan sebuah tulisan tentang bangkit dan runtuhnya sebuah kota dan negara yang dihubungkan dengan keberadaan jumlah penduduknya. Ini merupakan karya-karya awal terkait tema ini.
Sementara itu, penerbitan karya monumental Johann Peter Frank (1745-1821) System einer vollständigen medicinischen Polizei pada tahun 1779 merupakan puncak dari itu. Fondasi dasar pemikiran karya ini adalah sebuah ide yang menyebutkan bahwa jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhannya yang berkelanjutan merupakan perwujudan dari suatu negara yang kuat. Persoalan penduduk ini mendapat pembenaran dalam kerangka politik, ekonomi, dan kekuatan militer. Jumlah penduduk yang banyak, misalnya, sinonim dengan jumlah produksi yang tinggi. Yang terakhir ini merupakan representasi dari kekayaan suatu negara.