REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku
“Kunci rumah ini selalu saya simpan selama 72 tahun. Saya masih berharap bisa pulang ke kampung halaman suatu hari nanti,” kata pria tua itu dengan suara terbata. Diperlihatkan kunci dan surat rumah yang terlihat sudah sangat tua.
Hari itu adalah Hari Nakba. Nakba, secara bahasa berarti Hari Bencana. Diperingati setiap tanggal 15 Mei. Yang menandai berdirinya secara illegal negara zion*s Israel di atas tanah waqaf umat Islam, bumi Palestine pada tahun 1948.
Lima ratus desa dihancurkan. Ratusan ribu Muslim Palestine dengan bekal seadanya terlunta-lunta hingga ke perbatasan. Tak terhitung berapa banyak saudara kita yang syahid pada periode itu.
Selama 72 tahun hingga hari ini setidaknya 8 juta penduduk Palestine terusir dari kampung halamannya. Mereka mengungsi ke kamp-kamp pengungsian yang ada di negara sekitar. Jordania, Lebanon, Turki, hingga ke Amerika dan negara-negara Eropa.
Pada peringatan Hari Nakba, Amnesty Internasional meminta seluruh warga dunia untuk menunjukan solidaritasnya kepada pengungsi Palestina dan meminta Israel menghargai hak mereka pulang ke kampung halamannya.
Sekalipun banyak mendapat tekanan internasional, namun seperti biasa, Israel tak mengindahkannya. Alih-alih mengembalikan hak saudara-saudara kita, yang terjadi justru tiap tahun peringatan Hari Nakba kian represif.
Penangkapan yang brutal. Todongan senjata. Tembakan gas air mata. Darah dan air mata selalu tertumpah tiap tahunnya.
Orang-orang Palestine yang dikaruniai kecerdasan dan ketangguhan yang luar biasa, sebagian besar bisa bertahan bahkan survive di negeri orang. Kalau berkesempatan umrah akhir tahun, akan banyak bertemu anak muda Palestine generasi ke-3 yang sudah lahir di Amerika atau Eropa.
Mereka ini rata-rata sudah sukses. Lulusan universitas ternama dan mendapat pekerjaan yang mapan. Tak sedikit yang menikah dengan warga lokal. Namun, mereka tetap kuat mempertahankan keislamannya.
Pada mereka saya selalu bertukar cerita tentang leluhurnya. Banyak yang terkejut dengan pengetahuan dan pemahaman saya terkait isu Palestine.Mereka ini bahkan tak banyak tahu apa yang terjadi pada hari itu, selain kakek atau buyutnya terusir dari Tanah Airnya.
Mereka hanya paham kalau dalam dirinya mengalir darah Palestine. Tanpa tahu banyak sejarah leluhurnya. Tak sepenuhnya bisa disalahkan. Karena sejak lahir mereka belum pernah menginjakkankan kaki di tanah leluhurnya itu sekalipun.
Informasi yang didengar pun sebagian hanya dari ayahnya, yang ketika menungsi juga masih kecil. Beberapa bahkan tak pernah berjumpa dengan kakeknya.
Namun, mereka memiliki kerinduan yang sama. “Dari cerita ayah saya, di halaman rumahnya banyak tumbuh pohon zaitun. Saya ingin sekali suatu saat bisa mengunjungi kampung halamannya itu,” ucap Ali sambil menerawang jauh, seakan membayangkan seperti apa keindahan tanah Palestine.
Biidznillah. Semoga Allah mudahkan langkahmu, Saudaraku.Kalau mereka yang sudah puluhan tahun meninggalkan tanah kelahirannya dan rindu bisa segera kembali, pastilah bisa dimaklumi.
Namun, kalau ada penduduk suatu negeri yang tak sabar memaksakan pulang kampung di tengah badai pandemi, itu tak punya nurani.