Kamis 12 Mar 2020 00:04 WIB

Setahun Penembakan Masjid, Selandia Perang Lawan Kebencian

Setelah penembakan masjid lebih banyak orang yang mengekspresikan pandangan ekstrem.

Polisi berjaga di depan Masjid Al Noor di Christchurch, Jumat (21/3).(AP/Mark Baker)
Foto:

Dalam pertemuan komite parlemen yang diketuai Ardern bulan lalu, kepala agen intelejen Selandia Baru mengutarakan tantangan yang semakin meningkat sejak serangan itu. "Serangan itu telah memberikan dorongan kepada beberapa orang, dan telah memberi inspirasi kepada orang lain. Kami mendapat lebih banyak informasi tentang lebih banyak orang yang mengekspresikan pandangan ekstrem daripada yang kami miliki sebelum 15 Maret, dan beberapa dari orang-orang itu ada sebelumnya, dan kemudian ada dampak serangan itu sendiri setelahnya," kata Direktur Jenderal Badan Intelijen Keamanan Selandia Baru Rebecca Kitteridge kepada komite, menurut transkrip dari pertemuan yang disaksikan oleh Reuters.

Sekitar 30 dan 50 orang sedang diselidiki secara aktif oleh badan intelejen tersebut pada saat tertentu karena menimbulkan ancaman teror, jumlah yang lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Kitteridge mengatakan antara 15 Maret dan akhir Juni 2019, agen mata-mata itu menerima petunjuk tentang orang-orang yang mengekspresikan pandangan rasialis, Nazi, identitarian (politik identitas), atau supremasi kulit putih.

Sebuah survei oleh agen keamanan online Netsafe pada Desember menunjukkan pidato kebencian daring meningkat di Selandia Baru dalam 12 bulan terakhir, dengan sekitar 15 persen dari populasi orang dewasa jadi sasaran kebencian daring. Di dunia nyata juga, poster supremasi kulit putih telah muncul di universitas-universitas Auckland dalam beberapa minggu terakhir menjelang peringatan 15 Maret.

photo
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern meninggalkan lokasi shalat Jumat di Hagley Park, Christchurch, Selandia Baru. - (AP Photo/Vincent Thian)

Ada sekitar 60 hingga 70 kelompok dan di suatu tempat antara 150 dan 300 aktivis sayap kanan inti di Selandia Baru, kata Paul Spoonley dari Massey University, yang telah meneliti ekstremisme sayap kanan selama beberapa dekade. Sebanding dalam ukuran penduduk, angka itu hampir sama dengan jumlah aktivis sayap kanan di Jerman.

"Selandia Baru sekarang menjadi bagian dari ekosistem sayap kanan internasional dengan cara yang tidak dapat Anda katakan 20 tahun lalu. Kita telah menerapkan toleransi dengan baik, tetapi itu tidak berarti tidak ada elemen ekstrem," kata Spoonley.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement