REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika melawan pemerintah Jepang, Kiai Zainal membebankan segala risiko berperang menghadapi penjajah di pundaknya seorang diri. "Biarlah. Bebankan hal-hal yang berat dalam pemeriksaan tentara Jepang kepadaku. Jika terpaksa, boleh disebut nama kawanmu yang benar-benar syahid gugur dalam pertempuran atau sebut santri yang belajar kepadaku, jangan mengaku kenal padaku," kata Kiai Zainal.
Dalam setiap dakwahnya, Kiai Zainal selalu menekankan pentingnya berjuang melawan penjajah Jepang yang ternyata lebih kejam dari Belanda. Dia pun mendengungkan perang jihad kepada para santrinya. Sebelum terjun ke medan peran, Kiai Zainal membekali santrinya dengan beladiri pencak silat.
Setiap harinya, saat itu di pesantren Sukamanah sibuk dengan latihan perang-perangan dan pengajian untuk mempertebal semangat berjuang. Saat memulai perjuangan fisik, Kiai Zaenal beserta santrinya kemudian merencanakan sabotase terhadap pemerintah Jepang pada 25 Februari 1944.
Secara diam-diam, sekelompok kecil santri yang terlatih dikirim ke kota Tasikmalaya untuk melakukan gerakan yang merugikan pemerintah Jepang. Misalnya, penculikan para pembesar Jepang, membebaskan tahanan politik, merusak dan menghancurkan sarana-sarana umum seperti kawat telepon dan sarana penting yang kemungkinan dapat dipergunakan oleh tentara Jepang.
Namun, persiapan para santri ini tercium Jepang hingga mereka mengirim utusan camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil, justru mereka ditahan di rumah Kiai Zainal. Keesokan harinya, pada 25 Februari 1944, mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang dirampas.
Peristiwa ini merupakan awal dari sejarah perlawanan terbuka santri Pesantren Sukamanah. Dalam peristiwa bersejarah itu, para santri Pesantren Sukamanah hanya bermodalkan bambu runcing, golok bambu dan ilmu bela diri, sehingga mengakibatkan gugurnya 86 santri Sukamanah dan 300 tentara Jepang tewas. Selain itu, sekitar 700-900 santri ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya.
Kiai Zainal sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang. Pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh Kiai Zainal.
Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk Kiai Zainal sendiri dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun, mereka hilang tak tentu rimbanya. Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol, Jakarta memberi kabar bahwa Kiai Zainal telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta.
Melalui penelusuran salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada 1973 keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara bersama makam-makam santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.
Seorang cucu Kiai Zaenal, Yusuf Mustafa mengingat sosok kakeknya yang sangat dalam hal ketauhidan. Menurut Yusuf, Kiai Zaenal selalu menanamkan nilai-nilai tauhid di dalam keluarga, sehingga hal ini patut diteladani oleh generasi saat ini.
"Kunci kemenangan hanya tauhid pasrah pada Allah, karena dengan jalan itu Allah beri pertolongan pada umat. Sehebat apapun manusia di hadapan Allah pasti kecil, itu yang beliau tanamkan ke keluarga," kata Yusuf dalam acara peringatan perjuangan pahlawan KH. Zainal Mustafa ke-73.