Ahad 16 Feb 2020 14:00 WIB

Cerita Kiai Cholil Dirikan Pesantren dan Pesan Orang Tua

Kiai M Cholil Nafis mendirikan pesantren berkat doa orang tua.

Salah satu sudut Pesantren Cendekia Amanat, Depok
Foto:

Sekitar dua tahun saya mondok, yaitu kelas dua tsanawiyah, saya dapat kabar kalau abah saya sakit keras. Saya disusul untuk pulang, dan akhirnya abah saya dipanggil oleh Allah SWT. Innalillah wa Inna ilaihi Raji’un. Abah saya al-marhum H Hasanudin telah meninggalkan kami semua. 

Sebelum beliau wafat, saya sempat menemui abah yang sedang sakit dan beliau berpesan: ‘Nak, kamu jangan berhenti belajar ya, meskipun nanti banyak tantangan di perjalananmu. Bahasa maduranya: Jek abelih ejelen (jangan kembali di tengah jalan sebelum studinya tuntas selesai).’ Itu bagian dari wasiyat abah yang terus terngiang-ngiang dalam ingatan saya hingga saat ini. 

Wasiat ini mengingatkan saya kepada nasihat lainnya yang terus ada di alam bawah sadar, yaitu: Jangan takut kepada siapapun asal kamu benar, meskipun ada malaikat berjubah turun dari langit. Jangah goyah pada prinsipmu yang diyakini benar. Yang harus kamu takuti adalah berbuat salah kepada orang lain. 

Nasihat lainnya: Jangan berhenti belajar sampai tuntas. Terkenang dalam benak saya, almarhum abah saya sampai rela menjual langgar (mushala) pribadi demi meneruskan studi anak-anaknya. Ada nasihat abah dan umi saya yang terus menjadi ingatan kolektif keluarga: Saya tak bangga anak saya memiliki banyak perusahaan dan kekayaan yang melimpah, tapi saya lebih bangga kalau anak saya bisa mendirikan pesantren.

Ternyata nasihat orang tua untuk mendidirkan pondok pesantren itu paralel dengan motivasi ulama-ulama panutan saya selama saya berkiprah di Jakarta. Kiai Tholhah Hasan berucap kepada saya: “Cholil kalau hanya mengandalkan SK (surat keputusan di organiasi dan birokrasi) itu hanya berlaku secara periodi. Untuk bisa survive dan terus berkiprah selamanya di masyarakat, bahkan di akhirat manakala dapat membangun basis sosial."

Kiai Tholhah mencontohkan Universitas Malang dan rumah sakit yang ia bangun. Kiai Hasyim Muzadi pun menasihati hal yang sama, agar saya segera mendirikan pesantren untuk menjadi tempat pengkaderan umat. 

Nasihat-nasihat itu tak terbayang dalam pikiran saya. Bagaimana bisa saya bikin pesantren di Jabodetabek yang sudah padat dan harga tanah yang mahal. Harus memulai dari mana saya merealisasikan nasihat dan harapan orang tua. Di samping itu, pikiran saya tak cenderung untuk mengurusi pendidikan pesantren karena sedang asyik dengan dunia akademik di perguruan tinggi dan berorganisasi. Namun nasihat itu selalu menghantui pikiran saya. 

Suatu ketika saya mencoba membina pesantren kecil-kecilan untuk kalangan mahasiswa. Pikir saya, lumayan kalau mengurus mahasiswa tak begitu merepotkan. Namun itu tak berjalan mulus karena jadwal saya yang padat dengan acara-acara organisasi, menulis, seminar, dan ceramah. Tapi sebenarnya itu alasan saja, sebab pada intinya karena masih menomorduakan pembinaan generasi secara langsung di pesantren.

Pada 2014, Allah SWT membukakan jalan untuk mengurus pesantren. Alhamdulillah ada tanah wakaf seluas satu hektar lebih di tempat yang strategis di Jl. Kalimulya Cilodong, Depok. Sayap pun sangat berminat dan ingin merealisasikan nasihat para guru dan harapan orang tua untuk mendirikan pesantren.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement