Ahad 16 Feb 2020 14:00 WIB

Cerita Kiai Cholil Dirikan Pesantren dan Pesan Orang Tua

Kiai M Cholil Nafis mendirikan pesantren berkat doa orang tua.

Salah satu sudut Pesantren Cendekia Amanat, Depok
Foto: Dok istimewa
Salah satu sudut Pesantren Cendekia Amanat, Depok

REPUBLIKA.CO.ID, Pesantren bagi KH M Cholil Nafis adalah hal yang tak terpisahkan dalam sejarah perjalanan hidupnya. Dalam catatan sederhana ini, Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini membeberkan perjalanannya menghidupkan dan mengembangkan Pesantren Cendekia Amanah, Jl Kalimulya Cilodong, Depok.    

“Saat kecil dulu, saya sebenarnya sangat ingin bersekolah di SD, SMP dan SMA. Seperti orang-orang kota yang berangkat ke sekolah dengan pakaian rapi. Tapi keinginan saya waktu itu tidak bisa terwujud. Maklum lah, saya dibesarkan di lingkungan keluarga kampung, Desa Jrenguan Kecamatan Omben Kabupaten Sampang yang bisa dibilang tradisional. Selain memegangi tradisi keagamaan secara trurun temurun dengan bersekolah di madrasah atau pesantren, juga kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan. Saya hanya bisa melihat orang-orang kota sepertinya mereka bisa hidup enak.  

Suatu kali, saya punya seorang guru umum dari kota Sampang yang mengajar baca-tulis di Pesantren Al-Ihsan Jrenguang, tempat saya belajar. Namanya pak guru Hasan. Saya kagum padanya. Setiap hari pak guru Hasan naik “sepeda ontel” dari Sampang yang jaraknya sekitar delapan km. Dia memiliki dedikasi yang tinggi untuk mengajar. Lalu saya berupaya untuk mendekatinya dan bertanya-tanya tentang banyak hal. Salah satu fokus pertanyaan saya adalah bagaimana saya bisa ikut ujian ijazah persamaan madrasah.   

Berdasarkan informasi darinya, kalau mau saya dapat ikut ujian persamaan. Saya sangat antusias ikut ujian persamaan untuk penyetaraan ijazah. Demi tujuan itu saya rela menjual sepeda BMX saya untuk membayar biaya ujian penyetaraan ijazah formal itu. Tapi rupanya keinginan saya itu tidak berjalan mulus. Entah karena apa, yang jelas ujian persamaan itu tak jadi dilaksanakan. Begitu penuturan Pak Guru Hasan. Rasanya saya sedih sekali saat itu, mana saya sudah terlanjur menjual sepeda kesayangan saya pula. Tapi keinginan saya tetap membara jika suatu saat ada ujian persamaan  

Di pesantren tempat saya belajar memiliki sistem pendidikan yang agak unik. Masa belajarnya dianggap tamat mana kala telah sampai kelas dua Tsanawiyah. Tamat belajarnya ditandai dengan perayaan festival naik kuda. Sangat mengesankan dalam kehidupan saya. Sayang sekali, ijazah yang dikeluarkan tidak diakui oleh pemerintah. Maklum lah perhatian pemerintah zaman itu tidak sebesar seperti sekarang. 

Tetapi Alhamdulillah, saat itu akhirnya saya dapat menyelesaikan ujian Madrasah Ibtidaiyah persamaan. Sekedar diketahui, pesantren Al-Ihsan Jrenguang itu sampai sekarang masih menggunakan kurikulum salaf. Kontennya disusun sendiri tanpa mengikuti kurikulum pemerintah, sehinga ijazahnya tak diakui pemerintah sebagai pendidikan formal. 

photo
Kiai M Cholil Nafis berpose di depan gerbang Pesantren.

Selepas lulus pesantren di kampung, saya ingin melanjutkan ke Pesantren Darul Rahman, Jakarta, asuhan Kiai Syukran Makmun. Kebetulan, beliau berasal dari satu kampung dengan saya dan masih ada ikatan keluarga dari jalur ibu. 

Lumayan, pikir saya saat itu, bisa sekolah di pesantren modern yang berada di Ibu kota. Namun lagi-lagi keinginan itu hanya impian. Masalahnya masih tetap sama karena alasan ekonomi. Pada saat yang sama, abah saya jatuh sakit setelah pulang melaksanakan ibadah haji yang tak kunjung sembuh. 

Dengan langkah gontai, akhirnya saya mengikuti jejak kakak-kakak melanjutkan sekolah Tsanawiyah di Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Untuk memasuki pesantren ini ukurannya bukan berdasarkan ijazah yang diajukan, tetapi berdasarkan kemampuan dari hasil tes masuk pondok. Dari pengumuman hasil tes saya berhasil diterima langsung kelas dua tsanawiyah, sementara kakak kandung yang bareng ikut ujian justeru diterima kelas satu Tsanawiyah. 

Untuk menjaga psikologi kakak saya agar tidak kecewa, akhirnya saya pun mengalah turun ke kelas satu Tsanawiyah. Namun setelah tiga bulan belajar di pesantren, kakak saya justeru malah tidak betah dan saya tetap meneruskan studi.  

Selama belajar di pesantren, saya memiliki bakat menonjol dibanding kawan-kawan saya. Saya sangat senang berbicara di depan banyak orang. Hampir setiap hari, hobby saya berpidato dan berdebat. Saat di Pesantren Jrenguan maupun di Sidogiri saya sering memenangi lomba pidato. 

Apalagi ada penyaluran hobi tambahan saat di Pesantren Sidogiri, yaitu forum musyawarah. Seperti forum Bahtsul Masail di NU yang membahas masalah kekinian dengan merujuk pada khazanah turats fikih klasik. Lumayan, selain menyalurkan hobby debat juga sebagai forum bergengsi karena diikuti oleh peserta pilihan dari perwakilan asrama. Satu hal yang membuat saya tetap semangat adalah saat debat disediakan hidangan makanan enak. Hitung-hitung menambah gizi lah, pikir saya waktu itu.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement