REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Urusan Agama Islam Kementerian Agama, Mohammad Agus Salim, menuturkan, pemerintah daerah (pemda) tidak punya alasan untuk menolak memberikan izin pendirian rumah ibadah bila proses pendiriannya telah memenuhi persyaratan. Syarat pendirian termaktub dalam Peraturan Bersama (PB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006.
Agus menyampaikan hal itu menyusul kasus perusakan Mushala Al-Hidayah di Perum Agape Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Dia menjelaskan, sebetulnya warga Muslim setempat yang ingin mendirikan mushala pernah datang ke Kemenag pusat sekitar tiga bulan lalu.
"Mereka datang menyampaikan keinginannya membangun masjid. Sudah bertahun-tahun mereka mengurus perizinan dan segala macamnya. Tapi kesulitan membuat izin di daerahnya. Padahal di situ komunitas Muslim-nya sudah banyak, ada ratusan," tutur dia kepada Republika.co.id, Ahad (2/2).
Agus tidak mengetahui apa alasan yang membuat warga Muslim di perumahan Agape itu tidak diberi izin membangun mushala. Namun, pada pertemuan saat itu, warga Muslim setempat mengatakan telah memenuhi semua persyaratan yang diperlukan untuk pendirian mushala, sebagaimana diatur dalam PB Menag nomor 8 dan 9 tahun 2006.
"Kalau sudah terpenuhi maka tidak ada alasan bagi pemda untuk menolak, termasuk bupati. Di PB dua menteri itu kan sudah jelas di sana tentang mekanisme pendiriannya. Tinggal nanti bupati yang memberi izin," tutur dia.
Agus menambahkan, Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Sulawesi Utara Abdul Rasyid pun telah melapor ke Menag soal peristiwa perusakan yang terjadi. Dalam laporan tersebut, disampaikan bahwa kondisi terkini mushala sudah kondusif.
"(Tapi) mereka berkeinginan supaya itu segera diberikan izin karena menurut mereka sudah memenuhi. Jadi sekarang sedang dimusyawarahkan. Semoga ada jalan terbaik," ujar dia.
Terpisah, Republika mencoba menghubungi langsung Kakanwil Kemenag Provinsi Sulut Abdul Rasyid. Namun, dalam komunikasi sambungan telepon tersebut, dia menolak memberikan tanggapan terkait perusakan mushala Al-Hidayah di wilayahnya.
Wakil Sekjen Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nadjamuddin Ramly mengungkapkan, Mushala Al-Hidayah ini pada dua tahun lalu sudah diminta untuk ditutup oleh lurah dan bupati setempat. Padahal, kata dia, sejak lama masyarakat Muslim setempat ingin punya rumah ibadah untuk mereka.
Namun, Nadjamuddin mengatakan ada kelompok masyarakat agama lain yang masih mempersoalkan pembangunan mushola itu. "Yang melarang ini FKUB, forum komunikasi umat beragama, yang seharusnya mereka menjadi mediator dan fasilitator supaya tidak konflik," kata dia.
"Semestinya tidak ada kasus-kasus dalam pembangunan rumah ibadah ini kalau persyaratannya memenuhi. Nah Mushala Al-Hidayah itu mereka sudah memohon dengan persyaratan yang lengkap tapi dua tiga tahun ini tidak diberikan izin padahal syarat-syaratnya sudah lengkap," kata dia.
Nadjamuddin melanjutkan, memasuki tahun ketiga, Pemda Minahasa Utara tidak mengeluarkan izin pendirian bangunan. Namun, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Sulawesi Utara sudah melakukan mediasi. Dalam proses mediasi ini, telah disepakati untuk diterbitkan izinnya. "Agar tidak terjadi gesekan yang kedua," ujar dia.
Menurut Nadjamuddin, keberadaan mushala itu sebetulnya tidak mengganggu warga agama lain. Dia menambahkan, bila pemda setempat berdiri di atas semua kelompok, maka semestinya izin pendirian rumah ibadah mudah diterbitkan.
Terlebih, menurut dia, lokasi mushala itu dikelilingi warga Muslim. Hanya, pada lapis kedua dan ketiganya memang dihuni warga pemeluk agama lain.
"Ini ada hambatan dari FKUB maupun dari Pemda Minahasa Utara. Kalau sudah lengkap semua mengapa ditahan. Jadi ini tidak suka saja dengan Islam. Apalagi mendirikan masjid, padahal persyaratan pendirian masjid itu sudah lengkap," ujar dia.