Rabu 11 Dec 2019 15:00 WIB

Sertifikasi Halal Perlindungan Bagi Warga Negara

Sertifikasi halal penting bagi Indonesia yang mayoritas muslim.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Hafil
Sertifikasi Halal Perlindungan bagi Warga Negara. Foto: ilustrasi halal
Foto: muslimdaily
Sertifikasi Halal Perlindungan bagi Warga Negara. Foto: ilustrasi halal

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Budi Ruhiatudin mengatakan, konsumen Muslim jadi mayoritas di Indonesia. Sayang, posisinya masih lemah ketika berhadapan dengan pelaku usaha.

Padahal, ia mengingatkan, Pasal 29 ayat (2) UUD 45 sudah menyebutkan  negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Lalu, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk memeluk agamanya masing-masing.

Baca Juga

"Dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu," kata Budi saat menjadi pembicara seminar Urgensi Sertifikasi Halal sebagai Implementasi UU 33/2014 tentang JPH di Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa (10/12).

Budi menekankan, posisi yang lemah itu baik ketika berhadapan dengan semua pelaku usaha. Baik mereka yang memang memiliki niat tidak baik, maupun pelaku usaha yang memiliki sedikit informasi tentang halal.

Ia berpendapat, pelaku-pelaku usaha perlu diberi pemahaman pentingnya mengelola produk halal dari a sampai z. Sebab, produk halal, ketika terkontaminasi zat-zat yang haram, tentu hukum produk itu jadi haram.

Sayangnya, ia berpendapat, posisi konsumen Muslim di Indonesia masih berat. Apalagi, jika negara tidak hadir, atau jika negara tidak ikut campur urusan-urusan halal baik tentang makanan maupun hal hal lain.

Untuk itu, ia menegaskan, UU 33/2014 soal sertifikasi halal bagi apa saja yang diperdagangkan di Indonesia jadi satu kewajiban. UU telah amanahkan pelaku usaha menjaga komitmen kehalalan dalam lima tahun.

"Bagi negara lain, itu bisa jadi diskriminasi, tapi bagi Indonesia itu merupakan perlindungan bagi warga negara," ujar Dewan Pengawas DPP Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) DIY tersebut.

Sesuai UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) itu, pelaku usaha yang tidak menjual produk halal tidak wajib sertifikasi. Tapi, mereka wajib memberi keterangan tertulis tidak halal.

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY, Makhrus Munajat mengatakan, dunia halal turut mengalami perkembangan. Bahkan, fatwa-fatwa MUI yang tadinya legal opinion sudah menjadi hukum positif.

Fatwa, kata Makhrus, yang tadinya hanya mengikat orang yang meminta fatwa sekarang berkembang. Selain itu, jika dulu MUI dimintakan fatwa sekadar soal-soal ibadah, kini sudah berkembang ke hal-hal spesifik.

"Ketika ulama-ulama diminta bedakan mana daging haram mana daging halal, pasti tidak bisa membedakan, karenanya MUI meminta bantuan ahli-ahli untuk memutus fatwa khusus," kata Makhrus.

Ia menuturkan, karena keterbatasan kemampuan MUI tersebut, akhirnya diberikan keleluasan membentuk satu badan yang membantu yaitu LPPOM. Termasuk, Dewan Syariah Nasional (DSN) untuk produk-produk ekonomi.

Makhrus yang sudah 19 tahun jadi auditor halal sendiri setiap bulan mengaudit sekitar 100-150 perusahaan setiap bulan. Hal ini memberi gambaran pula betapa tingginya keinginan sertifikasi halal publik.

Apalagi, lanjut Makhrus, setelah adanya UU 33/2014 tentang JPH, yang mewajibkan semua pelaku usaha melakukan sertifikasi halal. Karenanya, ia meminta BPJPH memenuhi gairah publik yang sangat baik tersebut.

"Semua produk yang meminta fatwa harus dilayani, tidak ada istilah tidak siap, harus siap," ujar Makhrus. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement