REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Belakangan, tak sedikit kalangan santri yang menempuh karier di berbagai lingkup dunia kerja. Hal ini tak sedikit menimbulkan tanya dari berbagai masyarakat, apa sebenarnya yang diajarkan di pesantren kepada para santri itu?
Pada hakikatnya, pesantren merupakan lembaga formal pendidikan layaknya madrasah. Hanya saja dalam budaya pesantren dikenal istilah praktik langsung yang dibarengi dengan ketaatan kepada kiai dan para pendidik.
Kurikulum setiap pesantren di Tanah Air beragam. Ada yang mengikuti kurikulum pemerintah, ada yang tidak mengikutinya (salaf/tradisional), bahkan ada juga yang menggabungkan antara keduanya. Dalam kategori terakhir, pesantren jenis ini kerap disebut sebagai pesantren modern.
Artinya, para santri dimungkinkan mengenal pelajaran umum dan agama. Pelajaran-pelajaran dasar seperti bahasa asing seperti Inggris dan Arab, umumnya merupakan pelajaran wajib yang lumrah diajarkan. Tidak seperti bahasa Inggris yang melahirkan cabang ilmu padanan bahasa seperti grammar, bahasa Arab memiliki kompleksitas yang lebih rumit.
Gramatika dalam bahasa Arab bisa sangat beragam dan bercabang. Cabang ilmunya biasa dikenal dengan nama nahwu dan sharaf. Kedua kitab dalam ilmu tersebut adalah kitab al-Imrithi dan Alfiyah. Namun anehnya meski cukup kompleks dan beragam, cabang-cabang ilmu bahasa Arab ini justru lebih digemari.
Salah satu santri alumni Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta, Afifah YS, mengaku menggemari pelajaran al-Imrithi dan Alfiyah karena merupakan pelajaran yang asik sekaligus menghibur.
Mengapa tidak?, kata dia, kedua kitab gramatika Arab tersebut yaitu al-Imrithi dan Alfiyah memiliki bait-bait kalimat (rumus padanan bahasa) yang dapat dinyanyikan atau disenandungkan. "Jadi mudah dihafal dan dimengerti. Soalnya kan sambil dinyanyiin," kata Afifah kepada Republika,co.id, Jumat (6/12).
Dia menjelaskan, umumnya santri kerap menyanyikan bait-bait dari kitab al-Imrithi dan Alfiyah usai melaksanakan jamaah ibadah Maghrib dan Subuh. Pada waktu-waktu tersebut, menurut dia hapalan dan ingatan santri sedang berada tinggi-tingginya.
Hal senada juga disampaikan santri dari alumni Pondok Pesantren Daarunnajah, Muhammad Sofyan. Dirinya mengaku terkesan dengan bait-bait dalam kitab al-Imrithi dan Alfiyah.
Saking gemarnya santri menyanyikan bait tersebut, kata Sofyan, tak sedikit santri yang jika tidur mengigaukan bait-bait tersebut. "Biasanya yang mengigau begitu (bait-bait al-Imrithi dan Alfiyah), kita panggil syekh," kenangnya.
Kendati demikian dia menjelaskan, pesantren sejatinya tak hanya mengajarkan perkara bagaimana seseorang mengenal ibadah individualnya semata atau pelajaran yang menyangkut tentang literatur Arab. Lebih dari itu, praktik merupakan realita yang diperkenalkan sejak dini dari kiai kepada santri.
Sofyan yang bergelut dalam bidang bisnis properti ini mengaku banyak mempelajari ilmu bisnis sejak menimba ilmu dari pesantren. Di mana ekonomi sesungguhnya sangat dekat dalam kehidupan sehari-hari apabila dapat dilihat dengan jeli .
Dimulai dengan memberanikan diri menawarkan dagangan sarung orang tuanya, Sofyan bercerita, tak disangka mental dagang dan bisnis tersebut kian terasah dan bermanfaat di lingkungan nyata masyarakat. Baginya dunia pesantren adalah wadah teori dan praktik yang seimbang.
Kendati begitu dia menggarisbawahi hal paling penting yang selalu menjadi tolok ukur kesuksesan santri, yakni akhlak. Menurutnya dari sekian banyak ilmu yang dia terima dari pesantren, penekanan akhlak merupakan hal yang paling utama.
"Setinggi-tingginya ilmu yang kita dapat, tanpa dibarengi akhlak bakal percuma. Bisa hancur nanti negara ini kalau isinya orang yang tidak berakhlak," ungkapnya.
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’lim disebutkan, sesorang tak akan dapat meraih ilmu yang sejati apabila relung hatinya tak diisi dengan akhlak. Akhlak merupakan fondasi sikap manusia, di mana bersamanya ilmu akan mengalir bermanfaat.