Senin 25 Nov 2019 23:40 WIB

Jejak Perjumpaan Awal Antara Islam, Yahudi, Dan Kristen

Perjumpaan awal Islam, Yahudi, dan Kristen sebagai agama serumpun.

Kerukunan Beragama (Ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Kerukunan Beragama (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Perjumpaan awal antara Islam, Yahudi, dan Kristen kerap membawa dinamikanya tersendiri. Dalam penyebaran agama Islam selalu ada keterkaitan dengan penganut Yahudi dan Kristen.

Dalam "Dunia Barat dan Islam, Cahaya di Cakrawala”, karya Sudibyo Markus, Nabi Muhammad yang lahir pada 570 Masehi hidup di satu lingkungan, di mana agama Yahudi dan Kristen telah berkembang luas di daerah Arab, Syam dan sekitarnya, sampai ke Yaman dan Abinisia di Tanduk Afrika.

Baca Juga

Dia mengatakan, hubungan awal antara Nabi Muhammad dengan penganut Yahudi dan Kristen di awal perkembangan Islam itu menunjukkan kedekatan dan tidak menunjukkan adanya permusuhan sebagaimana layaknya "satu rumpun agama Ibrahim".

Sikap permusuhan tersebut justru datang dari penduduk asli Makkah, di mana saat itu kaum Quraisy dengan berbagai cara ingin mencegah penyebaran agama Islam, termasuk dengan mencelakai Nabi Muhammad. Karena keselamatan mereka terancam, sejumlah penduduk Islam pun mengungsi ke Abnesia pada tahun kelima masa kenabian Nabi Muhammad.

Negeri tersebut dipimpin raja Kristen. Pengungsian ke Abnesia menunjukkan kedekatan antara pemeluk Islam dan penguasa Kristen Abinisia. 

Terlebih setelah Raja Abinisia yang bernama Najashi mengetahui bahwa Nabi Muhammad mengajarkan agama Islam yang memerintahkan untuk menyembah Tuhan serta menghormati Nabi Isa dan ibunya Siti Maryam.

Menurut Sudibyo, dari beberapa perjalanan hidup Nabi Muhammad tersebut ada beberapa hal yang menarik untuk dicatat dan diamati. Pertama, yaitu pertemuan Nabi Muhammad dengan seorang pendeta Bahira ketika   masih berusia 12 tahun, saat diajak pamannya Abu Thalib untuk berdagang ke Syam.

Kedua, tanggapan paman Siti Khadijah, Waraqah bin Naufal yang beragama Kristen dan sedang menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Arab. 

Dan ketiga, yaitu tanggapan dan pandangan Kaisar Roma, Heraklius (610-641) ketika menerima ajakan untuk memeluk Islam dari Nabi Muhammad melalui sepucuk surat yang dikirimkannya melalui kurir.

Dengan mengungkapkan fakta-fakta sejarah tersebut terlihat jelas bahwa Sudibyo ingin berpesan agar umat beragama sekarang ini tidak mengedepankan permusuhan. Dia mengajak umat beragama, khusus Islam dan Kristen menjadi instrumen perdamaian.

Dengan membaca buku ini, para pembaca khususnya umat beragama di Indonesia akan dapat saling mengerti, saling memaafkan, dan bisa saling menghargai keyakinan agama masing-masing. kontribusi Intelektual Sudibyo Markus ini dapat membantu terciptanya keharmonisan antar umar beragama.

Kendati demikian, masih terdapat sejumlah "pekerjaan rumah" bagi masyarakat Barat sendiri untuk menghilangkan semangat anti-Islam. 

Begitu juga dengan masyarakat Muslim juga mempunya pekerjaan rumah yang tidak ringan, yaitu membereskan kekisruhan dan kekacauan di rumahnya masing-masing.

"Situasi dalam negeri negara Muslim yang kisruh, kacau dan penuh kekerasan, jelas tidak kondusif bukan hanya dalam konteks dalam negeri, juga dalam kaitan dengan dunia Internasional," kata Prof. Azyumardi Azra dalam pengantarnya di buku ini.

 

  

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement