Rabu 20 Nov 2019 17:17 WIB

Proyek Masjid Turki Jangkau Banyak Negara

Ada 100 masjid lebih yang dibangun dan didanai Turki.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agung Sasongko
Miniatur Masjid Turki di Kosovo
Foto: The Gurdian
Miniatur Masjid Turki di Kosovo

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Turki menjadi salah satu negara yang mendanai pembangunan masjid di banyak negara. Pemerintah yang berkuasa dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di bawah pimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan telah menghabiskan hampir setengah miliar dolar untuk membangun lebih dari 100 masjid di luar negeri dalam beberapa tahun terakhir. Proyek masjid Turki itu ada di negara-negara termasuk Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Rusia, Ghana, Albania, Filipina dan Kirgistan. 

Pembangunan masjid Turki itu diawasi oleh Direktorat Urusan Agama Turki atau Diyanet. Diyanet mengawasi lebih dari 2.000 masjid di luar perbatasan negara, termasuk 900 masjid di Jerman. 

Di Amerika Serikat, salah satu masjid buatan Turki ada di Maryland. Pekan lalu, setelah pertemuannya di Gedung Putih dengan Presiden AS Donald Trump, Erdogan mengakhiri perjalanan satu hari ke Amerika dengan kunjungan ke kompleks masjid besar di Maryland tersebut. 

Proyek pembangunan masjid Turki ini dinilai bukan semata-mata bangunan masjid atau tempat ibadah bagi umat Muslim. Namun, majalah AS terkemuka, The Atlantic and Foreign Affairs, dan media penyiaran Inggris BBC menggambarkan bangunan masjid Turki dan penjangkauan Islam sebagai sebuah proyek 'soft power'. Dalam hal ini, melalui itu Turki berharap untuk memperluas pengaruhnya dan memainkan peran kepemimpinan bagi umat Islam di seluruh dunia. 

Defini 'soft power' menurut ilmuwan politik Amerika Joseph S. Nye, ialah kekuatan menarik orang lain dengan kecerdasan emosional seperti membangun hubungan atau ikatan yang erat melalui karisma, komunikasi yang persuasif, daya tarik ideologi visioner, serta pengaruh budaya. Erdogan sendiri kerap menghadiri acara pembukaan masjid Turki, seperti di Cologne dan Bishkek tahun lalu. 

"Masjid dan kompleknya akan berperan dalam pembaruan agama, bahasa, sejarah, budaya dan percakapan yang ada antara Anatolia dan Asia Tengah," kata Erdogan di Bishkek pada September 2018, seperti dilansir di Ahval News, Rabu (20/11).

Namun demikian, analisis lain datang dari direktur Program tentang Hak dan Pembinaan-perdamaian (Peace-building) di Columia University, David L. Phillips. Mantan penasihat senior di Departemen Luar Negeri AS ini meyakini bahwa masjid-masjid yang didanai Turki di luar perbatasannya menyebarkan Islam politik dan merupakan sumber perpecahan serta perselisihan. Karena itu, menurutnya, hal itu harus dilarang. Namun, ia mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk memiliki pandangan negatif tentang Islam yang disebutnya agama yang damai. 

"Ketika itu dimanipulasi oleh para politisi seperti Erdogan, itu menjadi agama pedang. Masjid-masjid yang didanai Turki ini melalui kementerian urusan keagamaannya tidak benar-benar tempat ibadah, mereka adalah tempat untuk radikalisme dan mobilisasi," kata Phillips.

Pernyataannya ini menunjuk pada laporan bahwa pemerintah Turki mengizinkan pejuang asing melakukan perjalanan melalui Turki untuk bergabung dengan kelompok Negara Islam (ISIS) dan badan intelijennya yang mengirim senjata ke kelompok jihadis ekstrem. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement