REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Robikin Emhas menyampaikan bahwa NU menghormati habib sejak sebelum kemerdekaan. Tapi NU tidak mendukung gagasan negara Islam atau Indonesia bersyariah dan khilafah.
Robikin mengatakan, jangankan terhadap orang yang kiblatnya dan Tuhan yang disembahnya sama, bahkan terhadap warga negara dan sesama manusia di seluruh penjuru dunia, persaudaraan tidak boleh diputus hanya karena perbedaan pemikiran. Itulah konsepsi tri-ukhuwah yang dipelopori KH Ahmad Shidiq dan dikembangkan NU sejak 1984.
"Menghormat habib? Itu sudah jadi budaya kami. NU-lah yang melakukannya sejak zaman pra kemerdekaan hingga saat ini. Boleh jadi tidak ada cium tangan wolak walik kepada habib jika NU tidak melakukannya," kata KH Robikin kepada Republika.co.id, Kamis (31/10).
Ia menjelaskan alasan menghormati habib, karena hal itu merupakan bagian dari perintah agama. Tapi yang perlu ditegaskan adalah NU tidak mendukung gagasan negara Islam atau Indonesia bersyariah dan khilafah.
"Bagi NU bentuk negara ini sudah final, final sebagai kesepakatan para pendiri bangsa (mu'ahada wathaniyah) yang karenanya wajib bagi generasi berikutnya untuk mematuhinya," ujarnya.
KH Robikin menegaskan, kesepakatan adalah janji dan janji merupakan hutang yang mesti dibayar. Bahkan sejak sebelum kemerdekaan NU melalui Muktamar ke-11 di Banjarmasin tahun 1936 sudah menegaskan bahwa Nusantara adalah darussalam.
"Demikian juga konsepsi dakwah, dalam pandangan NU, amar ma'ruf harus dilakukan bil ma'ruf dan nahi munkar pun harus dikerjakan bil ma'ruf," ujarnya.
Ia menyampaikan, selain di bidang keagamaan, NU juga memiliki konsen dalam penguatan ekonomi warga. KH Robikin percaya Front Pembela Islam (FPI) memiliki atensi mengenai hal ini. Akses terhadap keadilan, termasuk keadilan ekonomi boleh jadi merupakan sejenis common sense seluruh organisasi masyarakat yang ada.