REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Syafi'i selalu sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Berbagai rintangan dihadapinya untuk mendapatkan ilmu-ilmu agama. Bahkan, ia kerap hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan.
Diriwayatkan, saat masih menjadi pelajar, tokoh yang bernama asli Muhammad bin Idris itu tergolong miskin. Ia bahkan tak mampu membeli buku.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Terpaksa, ia mengumpulkan kertas bekas atau tulang belulang untuk mencatat pelajaran. Minatnya terhadap ilmu pengetahuan, terutama fikih, mulai tampak setelah ia membaca kitab Al-Muwatta' karya Imam Malik.
Ia pun berguru dan belajar dengan pendiri mazhab Maliki ini, hingga dirinya menjadi salah seorang murid kesayangan sang Imam.
Setelah belajar dengan Imam Maliki, dahaga ilmunya yang teramat sangat, ia kemudian pergi ke Irak (Baghdad) untuk belajar kepada Imam Abu Yusuf dan Imam MUhammad bin Hasan.
Dari kedua Imam ini, Syafi'i mempelajari cara-cara hakim memeriksa dan memutuskan perkara, cara memberi fatwa, cara menjatuhkan hukuman, serta berbagai metode yang diterapkan oleh para mufti di Irak.
Namun demikian, Syafi'i tetap belum merasa puas akan ilmu yang telah diperolehnya. Dalam suatu riwayat disebutkan, ia masih merasa sebagai orang yang paling bodoh. "Bila aku mendapatkan satu ilmu baru, maka hal itu menunjukkan betapa bodohnya diriku."
Demikianlah ungkapan rendah hati sang Imam. Kini, sudah belasan abad sejak kepergiannya. Cara pandangnya, wawasannya, dan kelimuwannya hingga era sekarang masih dipelajari umat Islam di berbagai negara.
View this post on Instagram




