REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berkurban merupakan perintah Allah kepada hamba-Nya. Syariat kurban telah ada sejak zaman Nabi Adam AS dan demikian pula diperintahkan kepada Nabi Ibrahim AS. Lantas, bagaimana hukum berkurban bagi umat Islam?
Pakar fiqih Ustaz Oni Sahroni menjelaskan, berkurban hukumnya sunah yang sangat dianjurkan (muakkad). Menurut mayoritas ulama, menunaikan kurban bernilai pahala.
"Kurban berpahala jika ditunaikan sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT atas karunia yang diterimanya, sebagai bentuk bukti pengorbanannya kepada Allah SWT, mempererat silaturrahim dengan tetangga, serta membantu para dhuafa," kata Ustaz Oni, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Selasa (16/7).
Kurban memang disunnahkan, terutama bagi orang yang mampu secara ekonomi. Akan tetapi, Ustaz Oni mengatakan ibadah kurban ini boleh dilewatkan jika orang bersangkutan memiliki hajat lain yang bersifat primer (hajat asasi) atau sekunder.
Misalnya, membayar kewajiban atau utangnya kepada pihak lain, membangun rumah untuk didiami, membayar biaya pendidikan, angsuran asuransi jiwa dan kesehatan syariah, angsuran kendaraan yang digunakan untuk bekerja.
Dalam kondisi demikian, ia mengatakan, hajat tersebut dapat didahulukan daripada berkurban.
"Karena berkurban itu hukumnya sunnah, sedangkan menunaikan hajat dan kewajiban tersebut itu lebih afdhal karena hukumnya wajib," lanjutnya.
Kurban bernilai taqarrub kepada Allah SWT. Karena itu, menurutnya, orang yang berkurban hendaknya meniatkan bahwa kurban menyembelih hewan tersebut untuk beribadah kepada Allah SWT.
Menurut mayoritas ulama, satu ekor kambing adalah kurban untuk satu orang. Sementara itu, satu ekor unta atau sapi adalah kurban untuk tujuh orang.
Sebagaimana hadist Rasulullah SAW: Dari Jabir bin Abdullah, berkata "Kami berqurban bersama Rasulullah SAW di tahun Hudaibiyah, unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang." (HR. Muslim).