REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alquran berisi kisah-kisah yang sarat hikmah. Di antaranya mengenai raja Mesir dari masa silam, firaun.
Firaun sebenarnya suatu julukan. Sosok yang didakwahi Nabi Musa AS adalah Firaun Ramses II. Pada 1881, jasadnya berhasil ditemukan. Kemudian, pada 1974 ilmuwan Prancis Dr Maurice Bucaille dan tim mengonfirmasi Ramses II mati tenggelam di laut. Sampai saat ini, para pengunjung museum di Kairo, Mesir, masih dapat melihat jasadnya yang tak terurai.
Surah Yunus ayat 92 memberi peringatan. Terjemahan ayat itu, “Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu (Firaun) supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu, dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.”
Alquran menceritakan Firaun sebagai penguasa yang melampaui batas. Dia sukar sekali untuk menyadari, setiap kekuasaan adalah titipan dari Allah SWT. Sang Maha Pencipta menitipkan dan mencabut kekuasaan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.
“Katakanlah, ‘Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu’” (QS Ali Imran: 26).
Untuk menyadarkan Firaun, Allah mengutus Nabi Musa dan saudaranya, Nabi Harun. Keduanya diperintahkan untuk mengingatkan pemimpin itu agar sadar diri.
Perintah-Nya bukan untuk semisal memerangi atau membunuh Firaun. Para nabi itu hanya disuruh-Nya untuk mendakwahi pemimpin Mesir itu.
“Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut” (QS Taha: 43-44).
Firaun adalah representasi yang sempurna dari rezim yang lalim. Kejahatannya terhadap rakyat amat sangat keras.
Untuk menyebut satu contoh, dia membunuh semua bayi laki-laki di wilayahnya hanya karena informasi ahli ramal, kelak akan ada laki-laki yang menjungkalkannya dari tampuk kekuasaan.
Firaun tidak mau menunggu lama. Dalam bahasa sekarang, dia tidak memberi tenggang hingga suatu generasi memunculkan kalangan aktivis yang berani menyuarakan protes. Firaun tak segan-segan membasmi mereka seluruhnya bahkan ketika masih berusia bayi.
Bagaimanapun, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Justru bayi laki-laki yang kelak menjadi lawannya diasuh di istananya sendiri. Bayi itu ialah Nabi Musa, yang kini diutus oleh Allah SWT untuk mendakwahi Firaun.
***
Bila membandingkannya dengan konteks saat ini di Tanah Air, jarang—untuk tidak mengatakan “nihil sama sekali”—adanya pemimpin yang meniru total kepemimpinan Firaun. Semoga tak akan pernah ada pemimpin Indonesia yang mengikuti jejak Firaun.
Merenungi ayat-ayat di atas, bahkan terhadap tiran sekaliber Firaun, Allah SWT memerintahkan rasul-Nya untuk menasihatinya “dengan kata-kata yang lemah lembut.” Bukan memberontak, memerangi, apalagi memusnahkan.
Di zaman Nabi Musa, dengan adanya pemimpin separah Firaun, perintah-Nya adalah berdakwah. Adapun kini, belasan abad lamanya setelah Rasulullah Muhammad SAW wafat, tidak ada lagi insan se-maksum nabi di tengah manusia.
Bagaimanapun, tugas kenabian tak usai. Rasul SAW bersabda, para ulama adalah pewaris nabi. Maka dari itu, wajarlah kiranya kaum ulama selalu berada di posisi terdepan dalam mendakwahi seorang pemimpin.
Dakwah yang tegas, tetapi dengan tutur kata yang lemah-lembut.
Dakwah yang memerhatikan perintah Allah, surah al-Baqarah ayat 42. “Dan janganlah kamu campur-adukkan yang hak [kebenaran] dengan yang bathil [kemungkaran] dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.”
Demikian pula, jadilah seorang pemimpin negeri yang takut akan perhitungan di Hari Kiamat. Sungguh benar sabda Nabi SAW, “Tiap-tiap kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (HR Bukhari).