REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada setiap zaman, selalu ada orang-orang yang meremehkan perkara-perkara yang sakral, meski dengan dalih bercanda. Ambil contoh, pada masa Rasulullah SAW.
Merujuk buku Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, terdapat suatu kisah dari Ibnu Umar.
Dalam suasana Perang Tabuk, sekelompok orang munafik berkata, “Kami tidak pernah melihat seperti para penghafal Alquran itu. Belum pernah ada orang yang lebih rakus, lebih buncit perutnya, lebih suka berdusta, dan lebih pengecut dalam pertempuran ketimbang mereka.”
Orang-orang munafik itu sedang membicarakan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat yang ahli Alquran. Ujaran tadi didengar Auf bin Malik yang sedang lewat di depan mereka.
“Kamu bohong! Kamu munafik! Aku akan melapor kepada Rasulullah,” katanya.
Ketika persoalan ini sampai kepada Nabi Muhammad, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sedang akan menaiki untanya. Kemudian, orang-orang munafik tadi didatangkan kepadanya.
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami waktu itu hanya bersenda-garau dan bermain-main saja, sebagaimana obrolan orang-orang di perjalanan jauh demi mengisi waktu luang,” kata salah seorang dari mereka.
Mendengar itu, Nabi SAW bersabda, “Mengapa terhadap Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
Tak lama kemudian, turun firman Allah SWT, surah at-Taubah ayat 65. Artinya, “Dan jika kamu (Muhammad) tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’”
Jangan Tiru Orang Munafik
Ada pesan penting dari kisah asbabun nuzul ayat tersebut. Pertama, hanya orang-orang munafik yang “berani” menjadikan Rasulullah SAW, ayat-ayat Alquran, dan bahkan Allah SWT sebagai objek lelucon.
Berbeda, misalnya, dengan orang-orang yang beriman atau berjiwa tauhid. Hati mereka mudah bergetar bila mendengar ayat-ayat-Nya. Hal itu disinggung dalam surah al-Anfal ayat dua.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambah iman mereka karena hal itu, dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakal,” demikian terjemahan firman Allah itu.
Allah SWT melalui Alquran sudah mengajarkan untuk tidak meniru para pengolok nabi-nabi. Lihat, misalnya, surah al-Baqarah ayat 104.
Surat itu merupakan teguran kepada kaum Muslimin agar tidak memanggil Rasulullah SAW dengan sebutan tertentu.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengatakan (kepada Muhammad) ‘Raa’ina’, melainkan katakanlah ‘Unzhurna’, ‘Wasma’u’ (dan dengarlah). Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang amat pedih,” terjemahan ayat itu.
Dalam bahasa Arab, kata raa’ina bermakna ‘Sudilah kiranya engkau memerhatikan kami.’ Perkataan itu sudah menjadi kebiasaan para sahabat ketika berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW.
Akan tetapi, orang-orang Yahudi lantas membuat olok-olok dengan ungkapan itu, sehingga menjadi ru’unah, yang berarti ‘Orang yang sangat dungu.’ Karena itu, Allah SWT memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mulai menggunakan kata-kata unzhurna, yang bermakna sama dengan raa’ina.
Maka dari itu, hendaknya seorang Muslim berhati-hati dalam lisan dan perbuatan. Di satu sisi, bercanda adalah bumbu kehidupan. Tertawa boleh-boleh saja. Namun, Islam melarang ekses candaan. Nabi SAW sendiri senang sesekali bercanda, tetapi tidak satu kali pun terdapat dusta di dalam kata-katanya.
Bila berbohong saja dilarang, apalagi mengolok-olok perkara yang sakral dalam agama dengan dalih memancing tawa? Allah mengancam keras mereka yang menyakiti perasaan Rasulullah SAW. “Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih,” (terjemah surah at-Taubah ayat 61).