REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak abad ke-16, Kota Syingith juga memiliki begitu banyak perpustakaan. Sampai-sampai, daerah ini dijuluki kota perpustakaan di tengah tandusnya Sahara. Syukurlah, lima unit perpustakaan kuno di Syingith masih bertahan sampai sekarang.
Satu sumber, misalnya, menyebut tidak kurang dari enam ribu buku langka masih dapat ditelusuri di kota berpenduduk 4.000 jiwa ini. Mayoritas koleksinya berkaitan dengan seni arsitektur, falak, dan ilmu-ilmu agama Islam. Jumlah naskah kuno yang memuat Alquran saja mencapai 1.300 buah.
Tentunya, hal ini menjadi daya tarik wisata sejarah. Kebanyakan orang Syingith pun dengan senang hati mengizinkan para turis untuk membaca manuskrip-manuskrip kuno milik mereka. Apalagi, penduduk setempat menganggap perpustakaan sebagai kebanggaan pribadi, alih-alih sumber pendapatan. Buku yang terdeteksi paling tua berasal dari abad kesembilan.
Sejak tahun 2000, UNESCO memasukkan kota kuno Syingith sebagai situs warisan dunia. Sayang sekali, Syingith sampai saat ini harus berjuang melawan desertifikasi, yakni degradasi lahan yang menjadi semakin gersang. Pemerintah setempat acapkali berupaya mengantisipasi hilangnya jejak-jejak peradaban Syingith.
Mulai Terlupakan
Pazzanita (1996) menyebutkan, sepinya rute Trans-Sahara pada abad ke-19 berdampak bagi kota-kota transit di Afrika barat, termasuk Syingith. Seiring dengan itu, Benua Hitam mulai menjadi ajang rebutan negara-negara Eropa. Mauritania masuk ke dalam wilayah okupasi Prancis sejak permulaan kurun ini.
Namun, penjajahan ternyata tidak mudah memasuki dataran tinggi Adrar. Salah seorang pejuang yang gigih mengusir kolonialisme adalah Muhammad Musthofa asy-Syingithi (1831-1910).
Dia menghabiskan sebagian besar masa hidupnya sebagai guru (murabith) di Kesultanan Maroko. Saat berusia 56 tahun, Sultan Maroko menunjuknya sebagai kadi. Sementara itu, ekspansi Prancis semakin gencar di Afrika utara. Pada 1906, sultan Maroko menandatangani Perjanjian Algeciras, yang berarti menyerahkan sebagian wilayah di selatan Maroko kepada Prancis.
Sejak saat itu, Musthofa asy-Syingithi memimpin ribuan pasukannya untuk menahan ekspansi kolonial. Namun, serangannya dapat dipatahkan musuh-musuhnya. Pada 1910, putra sufi Qadiriyyah Muhammad Fadhil Mamin ini wafat.
Sepuluh tahun kemudian, Prancis mencaplok sebagian besar Afrika barat, termasuk Mauritania.
Inilah awal masa kelam bagi Kota Syingith. Kebesaran kota ini memudar, tidak mampu lagi mempertahankan status pusat peradaban Islam di kawasan Gurun Sahara.
Benteng-benteng Prancis berdiri, mempertegas dominasi penjajahan di atas komunitas Muslim. Memasuki akhir abad ke-20, desertifikasi menjadi masalah baru bagi kota ini. Menurut Pazzanita, gejala alam ini sangat mengancam eksistensi ribuan manuskrip kuno yang tersimpan di beberapa rumah pribadi orang-orang Syingith.
Masyarakat setempat hanya bisa menjaga koleksi yang amat berharga itu dengan perawatan seadanya. Pembangunan infrastruktur belum bisa diandalkan, sejak Mauritania merdeka pada 1960 sampai hari ini.