Jumat 29 Mar 2019 11:38 WIB

Sentuhan Islam Melahirkan Kesultanan Buton

Sentuhan Islam ternyata melahirkan Kesultanan Buton

Rep: fuji permana/ Red: Muhammad Subarkah
Masjid Agung Kesultanan Buton
Foto: Andi Nur Aminah/Republika
Masjid Agung Kesultanan Buton

REPUBLIKA.CO.ID, Penyebaran Islam di Nusantara semakin berkembang pada abad ke-14 dan ke-15. Daerah-daerah di sekitar pesisir pantai umumnya lebih cepat menerima agama Islam, terutama daerah yang menjadi jalur pelayaran di masa lampau.

Catatan sejarah banyak yang menyebutkan Islam dibawa para pedagang Arab yang berlayar ke Nusantara. Di tempat mereka berdagang, mereka mempelajari kultur masyarakat setempat agar agama Islam mudah diterima dan berkembang. Pernikahan pedagang Arab dengan penduduk lokal kadang menjadi salah satu cara memperkenalkan dan mempopulerkan Islam.
 
Wilayah Kerajaan Buton yang sekarang menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah yang terletak pada jalur pelayaran. Para pedagang dari Jawa yang berlayar ke Maluku atau sebaliknya melintasi wilayah Kerajaan Buton. Maka wilayah Buton turut menerima dampak Islamisasi di Nusantara. 
 
Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Buton, Hasaruddin menerangkan, berdasarkan bukti-bukti sejarah, seorang ulama bernama Syekh Jalaluddin al Qubra memperkenalkan Islam kepada masyarakat Buton pada tahun 1412 Masehi. Dakwahnya diyakini sebagai gelombang pertama yang memperkenalkan Islam ke wilayah Buton. 
 
"Gelombang kedua dibawa oleh Syekh Abdul Wahid pada tahun 933 Hijriyah atau 1527 Masehi, pada tahun itu juga Syekh Abdul Wahid meninggalkan wilayah Buton, kemudian kembali lagi ke Buton pada tahun 948 Hijriyah," kata Hasaruddin kepada Republika, Kamis (28/3).
 
Ia mengatakan, kedatangan Syekh Abdul Wahid yang kedua sekaligus mengubah sistem Kerajaan Buton menjadi Kesultanan Buton. Sejak saat itu Islam menjadi semakin maju dan berkembang di wilayah Kesultanan Buton.
 
Sebelum menjadi kesultanan, Buton adalah sebuah kerajaan. Raja pertama bernama Wa Kaa Kaa dan raja kedua bernama Bulawambona. Keduanya perempuan yang menjadi Raja Buton. Raja ketiga seorang laki-laki bernama Bancapatola yang bergelar Bataraguru. Raja keempat bernama Tua Rade, dan raja kelima bernama Mulae.
 
Raja keenam Kerajaan Buton bernama La Kilaponto atau Timbang Timbaga. Raja keenam tersebut menjadi sultan pertama Kesultanan Buton. Masyarakat mengenalnya sebagai Sultan Murhum bergelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis. 
 
Hasaruddin menyampaikan, setelah Islam masuk ke Buton, penduduk pribumi mempelajari dasar-dasar ajaran agama tersebut. Beberapa orang di antara mereka belajar konsep Islam sampai tingkatan tassawuf. Kemudian kalangan cerdik pandai atau kaum intelektual Islam yang berasal dari Buton berinisiatif mengembangkan ajaran Islam ke seluruh wilayah Buton.
 
"Hasilnya, masyarakat Buton khususnya kalangan istana melaksanakan sistem pemerintahan dengan dilandasi paham Martabat Tujuh," ujarnya.
 
Kemudian paham Martabat Tujuh ditetapkan menjadi ideologi Kesultanan Buton. Setiap sultan wajib memahami ajaran agama Islam sampai pada tingkatan tarekat. Hal tersebut menjadi salah satu prasyarat diangkatnya seseorang menjadi sultan atau perangkat kesultanan di Buton. 
 
Menurut Hasaruddin, paham Martabat Tujuh adalah sebuah konsensus peraturan perundang-undangan yang paling utama. Penjabaran dari aturan tersebut dimuat dalam Istiadatul-Azali yang mengatur tugas dan tanggungjawab pejabat Kesultanan Buton.
 
"Paham Martabat Tujuh dibuat pada tahun 1610 Masehi, pada masa pemerintahan Sultan La Elangi yang bergelar Sultan Dayanu Iksanuddin (sultan keempat), beliau dibantu oleh seorang ulama berkebangsaan Arab bernama Syarif Muhammad," jelasnya.
 
Perkembangan Literasi di Kesultanan Buton
 
Sebagai kesultanan yang lahir dari suatu jaringan transmisi ajaran agama Islam di Nusantara, Buton tidak lepas dari kegiatan literasi seperti membaca dan menulis. Manassa Buton berpandangan, berdasarkan naskah-naskah yang ditemukan, diketahui pada abad ke-16 dan ke-17 adalah periode paling penting dalam proses pembentukan tradisi pemikiran Islam di Buton. 
 
Hasaruddin menjelaskan, pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Iksanuddin, diberlakukan undang-undang secara tertulis yang disebut dengan paham Martabat Tujuh. Setelah ditetapkan Martabat Tujuh sebagai undang-undang, kemudian Kesultanan Buton membuat aturan-aturan untuk wilayah-wilayah penyangganya atau daerah Barata.
 
"Aturan yang diberlakukan terhadap daerah Barata tentu bukanlah dalam bentuk lisan, tetapi dalam bentuk tulisan, turunan dari tulisan Sarana Barata masih dapat terbaca sampai saat ini pada koleksi Abdul Mulku Zahari (buku katalog naskah Buton)," jelasnya.
 
Perkembangan tradisi menulis juga nampak dari surat-surat yang ditulis Kesultanan Buton untuk Vereenigde Oostindie Compagnie (VOC). Seorang Kapiten Laut Buton mengirim surat untuk Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuyeker pada 8 Jumadil Awal 1080 Hijriyah atau 5 Oktober 1669 Masehi. Kemudian Sultan Buton mengirim surat untuk Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuyeker pada tahun 1670 Masehi.
 
Sebagai upaya memperkokoh Islam di wilayah Kesultanan Buton, Hasaruddin mengatakan, putra-putra Buton dikirim belajar ke berbagai negara Islam seperti Mesir, Turki dan Arab Saudi. Tiga orang di antaranya Haji Abdul Ganiyu, Abdul Hadi dan Muhammad Salih. Tiga tokoh tersebut diperkirakan belajar Islam di luar wilayah Buton sekitar awal abad ke-19. 
 
Ia mengatakan, Muhammad Idrus Kaimuddin sultan Buton ke-29 yang memerintah pada tahun 1824-1851 juga dikenal sebagai negarawan, ulama dan sastrawan Buton. Masa hidup Haji Abdul Ganiyu sezaman dengan sultan Buton ke-29. Sedangkan Abdul Hadi dan Muhammad Salih adalah putra Sultan Buton ke-29.
 
"Keempat tokoh tersebut dikenal sangat produktif dalam melahirkan syair-syair Islam yang dikemas dalam bentuk kabanti (sastra klasik Buton)," ujarnya.
 
Menurut Hasaruddin, secara umum penulisan naskah Buton dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pertama, penulis naskah hasil karya sendiri. Artinya si penulis mengarang dan menulis sendiri dengan menggunakan aksara Buri Wolio serta Bahasa Wolio (bahasa daerah di Buton). 
 
Kedua, penulis naskah yang menerjemahkan naskah-naskah Bahasa Melayu ke dalam Bahasa Wolio. Di sini penulis berperan sebagai pengalih bahasa. Ketiga, penulis naskah yang menyalin naskah hasil karya orang lain. Naskah-naskah hasil salinan mereka kemudian dijadikan sebagai koleksi pribadi masing-masing.
 
Pada zaman pemerintahan Kesultanan Buton, menyalin naskah hasil karya orang lain menjadi salah satu tugas pokok dari sultan kepada sekretaris kesultanan dan para pejabat tinggi kesultanan. Terutama kepada pejabat di bidang keagamaan dalam lingkungan keraton Kesultanan Buton. 
 
"Hasil salinan tersebut untuk dijadikan arsip kesultanan, sedangkan isinya (teks) menjadi pedoman bagi kalangan pejabat kesultanan, guru-guru agama dan para tokoh adat," kata Hasaruddin.
 
 
Institusi Pendidikan Islam di Kesultanan Buton
 
Pada awal abad ke-19 yakni masa pemerintahan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddi (Sultan ke-29), dibuat institusi pendidikan Islam untuk memperkuat pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam. Institusi tersebut memiliki bangunan tempat guru dan murid bertemu untuk belajar agama Islam dalam bidang tasawuf dan fikih.
 
Institusi Pendidikan Islam tersebut bernama Zawiyah. Pelaksanaan pendidikannya bersifat tradisional dan cenderung bersifat struktural. Ada yang mengatakan Zawiyah merupakan hasil adopsi dari ajaran Islam para sufi selama proses Islamisasi, kemudian diadaptasikan ke dalam masyarakat Buton untuk memahami ajaran Islam.
 
Menurut Hasaruddin, sebagai upaya memperkuat posisi Islam di wilayah Kesultanan Buton, maka dibuat tempat pendidikan Islam atau Zawiyah. Zawiyah dibangun di dalam wilayah pusat pemerintahan Kesultanan Buton. "Pendidikan di Zawiyah ini diawali dengan proses pembelajaran aksara Arab, Melayu dan Wolio," ujarnya.
 
Jurnal berjudul Pendidikan Islam di Zawiyah pada Masa Kesultanan Buton Abad ke-19 yang ditulis Syarifuddin Nanti, Ahmad M Sewang dan Muzakkir tahun 2018 menjelaskan Zawiyah. Sebagai pusat pendidikan Islam pada masa itu, Zawiyah telah memberi warna dan corak tersendiri bagi kehidupan masyarakat Buton.
 
Namun, Zawiyah sebagai tempat bertemunya guru dan murid dalam kegiatan belajar-mengajar agama Islam berkutat pada masyarakat di lingkungan keraton saja. Padahal wilayah kekuasaan Kesultanan Buton meliputi wilayah Kadie dan Barata. Sehingga tidak semua masyarakat di wilayah Kesultanan Buton mendapat pendidikan di Zawiyah.
 
Kondisi tersebut membuat masyarakat biasa tidak bisa mengenyam pendidikan Islam di Zawiyah. Hanya para bangsawan yang memiliki garis keturunan sultan saja yang bisa mengenyam pendidikan di Zawiyah. Meskipun Zawiyah terkesan eksklusif, tapi pengaruhnya dapat mengubah tradisi kepercayaan masyarakat Buton. 
 
Sehingga terbentuk nilai-nilai keislaman yang bersifat insidental dan transidental. Seperti penetapan nilai-nilai Islam yang dituangkan dalam Martabat Tujuh sebagai undang-undang pemerintahan. Serta tertuang dalam falsafah Pobinci-binci Kuli, lambang semangat persaudaraan sesama manusia sebagai wujud implementasi keruhanian dalam tradisi keislaman masyarakat Buton.
 
Zawiyah memadukan dua unsur pembelajaran, yaitu ajaran tasawuf dan ajaran fikih. Kemudian ditransformasikan ke dalam tiga bahasa di antaranya Arab, Melayu dan Wolio. Usaha memadukan tasawuf dan fikih di Zawiyah, sesungguhnya memperkuat fondasi pemerintahan Kesultanan Buton. Serta memurnikan ajaran-ajaran yang menyimpang dari syariat Islam. 
 
Terdapat empat Zawiyah pada masa Kesultanan Buton yang dapat diidentifikasi. Di antaranya Zawiyah Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, Zawiyah Haji Abdul Ganiyu, Zawiyah Muhammad Nuh, dan Zawiyah Sultan Muhammad Umar. Keempat Zawiyah tersebut diprediski didirikan pada awal abad ke-19. 
 
Namun, Zawiyah dalam perkembangannya mengalami kemunduran sejak ditinggalkan oleh para pendirinya pada akhir abad ke-19. Sehingga tidak ada lagi institusi pendidikan Islam seperti Zawiyah yang diterapkan di Buton.
 
 
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement