Jumat 08 Mar 2019 14:31 WIB

Akidah tanpa Analogi

Penggunaan analogi tidak bisa sembarangan.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Agung Sasongko
Takwa (ilustrasi).
Foto:

Rukun kedua adalah Al-far'u atau cabang. Ini berarti sesuatu yang baru ter jadi pada zaman ini dan sebelumnya tidak ada pada waktu Nabi hidup. Suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dija dikan sebagai dasar. Far'u disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan).

"Ini contohnya minuman dari pohon enau, biasanya disebut tuak. Pada zaman Nabi kan tidak ada. Khamr saat itu dibuat dari anggur atau kurma," lanjut Ustaz Mohamad Nursamsul Qamar.

Allah SWT dalam surah an-Nahl ayat 67 berfirman, "Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang me ma bukkan dan rezeki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan." Rukun ketiga kias, yaitu hukum.

Hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash. Hukum ini akan ditetapkan pada far'u seandainya ada persa maan 'illat atau sifatnya. 'Illat sendiri merupakan rukun keempat dalam me nentukan analogi ini.

Khamr illat-nya memabukkan dan hukumnya haram. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW dalam HR Mus lim. Nabi SAW berfirman, "Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khomr adalah haram."

"Berdasarkan rukun ketiga dan keempat maka tuak yang bersifat mema buk kan seperti Khamr pun dimasukkan da lam jenis minuman yang haram. Hakikat makna dua hal yang terjadi pada masa saat ini dan pada zaman Nabi menjadi patokan membuat sebuah analogi atau Kias. Namun, untuk akidah, kias tidak boleh digunakan," lanjut Ustaz ini.

Sumber referensi akidah hanya dari Alquran dan sunah shahih dan hasan. Dalam memahami Alquran dan sunah harus mengikuti apa yang diinginkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, bukan dari pemahaman sendiri atau disebut dengan mengikuti hawa nafsu semata. Dalam perkara ghaib, tidak boleh ada ikut cam pur logika manusia di dalamnya.

Allah SWT dalam surah al-Qashash ayat 49 berfirman, "Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan Alquran) niscaya aku mengikutinya, jika kamu sungguh orang-orang yang benar."

Setelahnya, Allah juga berfirman, "Kalau seandainya mereka tidak sang gup untuk memenuhi tantangan Muhammad, maka sesungguhnya mereka hanya mengikuti hawa-hawa nafsunya." Setiap orang yang tidak mengikuti Alquran dan sunah Allah menyebutnya mengikuti hawa nafsu, tanpa terkecuali.

"Kalau seandainya tidak boleh ada kias, dibandingkan dengan contoh-con toh lain, dan tidak boleh mengikuti selain akidah maka yang harus dilakukan oleh seorang Muslim adalah membenarkan. Setiap apa yang diriwayatkan oleh Nabi diterima tanpa mempertentangkan ke napa harus begitu dan tidak begini. Serta tidak membuat opini lain dari apa yang dibawa Nabi," ujar Ustaz Mohamad Nur samsul Qamar.

Akidah seseorang bisa jatuh dan men jauh akibat mengikuti hawa nafsu dan menjadikan akal pikiran sebagai hakim. Pemikiran manusia digunakan sebagai pemutus dan menghukumi apa yang boleh diterima dan apa yang tidak. Akal tidak boleh digunakan untuk meng hukumi syariat Allah, tapi digunakan untuk memahami hukum Allah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement