REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga ayat lainnya di dalam Alquran yang relevan membahas pemberantasan korupsi adalah surah al-Maidah ayat 42, 62, dan 63. Ketiganya menyebut persoalan “makan yang haram” (akl as-suht).
Bahkan, dalam dua ayat yang belakangan Allah SWT menegaskan “amat buruk apa yang mereka telah kerjakan.” Subjek “mereka” adalah dalam ayat ke-62 adalah “kebanyakan dari orang-orang Yahudi (yang) bersegera dalam berbuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram”. Adapun dalam ayat berikutnya, subjeknya adalah “orang-orang alim atau pendeta-pendeta dari kalangan orang-orang Yahudi yang tidak melarang mereka dalam mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram.”
Dengan demikian, firman Allah SWT itu menekankan perbedaan antara orang yang mengetahui dan yang kurang mengetahui. Ibn Mas’ud (wafat 652) memandang as-suht sebagai “menjadi perantara dengan menerima imbalan antara seseorang dan penguasa untuk suatu kepentingan.”
Sementara itu, Khalifah Umar bin Khaththab mengemukakan pengertian yang serupa, yakni as-suht merujuk pada seseorang yang berpengaruh di lingkungan kekuasaan; orang itu kemudian menjadi perantara dengan menerima imbalan bagi orang lain yang berkepentingan; alhasil, penguasa tadi meloloskan keperluan orang yang memberi imbalan itu.
Maka, di dalam as-suht selalu ada penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain dengan menerima imbalan atas perbuatannya. Dalam istilah kekinian, as-suht adalah menerima gratifikasi.
Gratifikasi diharamkan dalam Islam. Ada hadits Nabi SAW terkait hal itu, yakni “Dari Abu Humaid as-Sa’idi (diriwayatkan) bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Pemberian hadiah kepada para pejabat adalah korupsi (ghulul).’”
Hadiah itu bersifat haram karena berkaitan dengan jabatan yang dipegang si penerimanya. Tidak ada masalah bila hadiah diberikan oleh seseorang atas dasar apresiasi kepada orang lain yang bukan pejabat.
Baca juga: Komitmen Islam dalam Pemberantasan Korupsi (5)