REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN – Negara-negara Islam idealnya mempunyai kepemimpinan islami yang ideal dengan mengedapankan empat visi profetik kerasulan yaitu kejujuran, amanat, kecerdasan, dan dakwah.
Namun, sayangnya, di kacamata sejumlah pakar, nilai-nilai agung tersebut justru semakin luntur di kalangan pemimpin negara-negara Islam.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Euis Nurlaelawati, memberikan sampling Indonesia.
Euis melihat masyarakat Indonesia masih lekat sifat komunalnya. Ia membandingkan suasana itu dengan masyarakat negara-negara Eropa.
Di kawasan tersebut pemerintahan dan keluarga tidak memiliki hubungan dan ketergantungan. Selain itu, terdapat perbandingan pola pikir masyarakat terhadap anak-anak.
Sebab, di Indonesia, saat melahirkan anak, orang tua pasti sudah berpikir keras cara menyekolahkannya. Berbeda, di sebagian besar negara-negara Eropa telah mementingkan keadilan sosial, termasuk sekolah ditanggung pemerintah.
"Katakanlah saya menteri, keluarga saya tidak akan menganggap saya berhasil kalau saya belum membawa satu dari keluarga saya menjdi orang pemerintahan contohnya, sebegitu komunalnya," kata Euis.
Hal itu disampaikan Euis saat mengisi kajian bertajuk Siapakah Sosok Pemimpin yang Rahmatan Lil Alamin di Gedung Wahid Hasyim Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), akhir pekan lalu.
Lebih lanjut, Euis mengatakan tahun ini Indonesia memasuki tahun politik dan masyarakat memiliki kesempatan terbuka memilih pemimpin bangsa. Walau semua berharap kepemimpinan yang baik, alasan yang melatarbelakangi pilihan seseorang bisa bervarian.
Dalam Islam, ungkap dia, ada tiga istilah dalam kepemimpinan yaitu amir, khalifah, dan imam. Masing-masing memiliki arti yang sama yakni pemimpin, walau berkonotasi berbeda.
Imam identik membimbing dan sifat keagamaan, khalifah pemimpin di bumi, sedangkan amir pemimpin yang beragam dan tidak melulu agamis.
Dosen Prodi Ahwal Al Syakhshiyah Universitas Islam Indonesia UII, Najib Asyrof menuturkan mencari pemimpin tentu mempertimbangkan nilai-nilai yang dimiliki sebaik-baiknya pemimpin yaitu Rasulullah SAW. Setidaknya, melalui personalia seorang Muhammad SAW.
"Mulai dari nilai-nilai sidiq (benar), amanah (dipercaya), tabligh (tersampaikan) dan fathonah (cerdas)," ujar Najib.
Dosen Prodi Ekonomi Islam UII, Martini Dwi Pusparini, mengingatkan, mencari pemimpin yang memiliki nilai-nilai Rasulullah SAW sangat sulit. Terlebih, jika menghubungkan ekonomi global dan negara-negara Islam hari ini.
Misalnya, terlihat dari data penelitian yang dilakukan Rehman dan Askari (2010). Dari sana, terlihat masih banyaknya praktik-praktik KKN, persoalan HAM, keadilan sosial, dan ekonomi yang tidak tuntas, dan jauh dari cerminan Islami. "Ternyata, tidak semua negara Islam itu islami," kata Martini.
Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam UII, Kurniawan Dwi Saputra, justru melihat perspektif Aristoteles soal hakikat dan etika kepemimpinan.
Ia menganalogikan kondisi hari ini seperti serigala alpha yang terkuat yang memimpin kawanan.
"Tapi, tentunya manusia tidak dinilai dari segi fisik karena manusia memiliki rasionalitas dan managerial," kata Kurniawan.