REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelumnya telah diceritakan, bagaimana Belanda mengagitasi konflik antara bapak dan anak, Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Abdul Qahar--yang berpusat di Surosowan.
Ketika telah nyata keberpihakan Surosowan pada Kompeni, maka aliansi pasukan Sultan Ageng bersiap-siap menggempur basis pertahanan Sultan Abdul Qahar itu.
Sementara, di Surosowan, tampak pasukan Belanda sudah berjaga-jaga. Teranglah bahwa Kompeni berpihak pada Sultan Abdul Qahar.
Sementara itu, banyak tentara Banten yang mulanya dikirim Sultan Abdul Qahar untuk menyerang justru menggabungkan diri ke barisan Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada 27 Februari 1682, pecahlah perang di antara dua kubu tersebut. Meskipun dengan kekuatan penuh, pada akhirnya pasukan Sultan Ageng Tirtayasa tidak mampu menghalau kekuatan Belanda.
Berbulan-bulan lamanya pemimpin Banten itu berjuang mati-matian, khususnya di sepanjang perbatasan Tangerang-Batavia.
Setelah Pontang--basis militer aliansi Sultan Ageng--jatuh ke tangan Belanda, ibu kota Banten pun tinggal menunggu giliran. Sultan Ageng dan para pendukung setianya terpaksa menyingkir ke pedalaman.
Di antara mereka terdapat Syekh Yusuf al-Makassari selaku penasihat bagi pemimpin Banten tersebut. Sementara itu, Sultan Abdul Qahar berkirim surat kepada gubernur jenderal Belanda.
Isinya membocorkan lokasi persembunyian Sultan Ageng. Dia pun meminta Belanda supaya dapat membawa ayah kandungnya itu ke Surosowan. Di saat yang sama, dia pun bersurat melalui kurir kepada Sultan Ageng Tirtayasa di Sajira.
Sultan Ageng--yang telah berusia lanjut--itu tidak menaruh kecurigaan apa pun terhadap surat anaknya itu. Maka berangkatlah dia ke Surosowan pada Maret 1683.
Siasat Licik Belanda
Sesampainya di Surosowan, pasukan Kompeni sudah bersiap-siap untuk menangkap Sultan Ageng Tirtayasa. Demikianlah, pemimpin Banten yang amat dicintai rakyatnya itu harus menghabiskan sisa usia di dalam penjara.
Satu tahun kemudian, Syekh Yusuf al-Makassari dan para pendukung lainnya dari Tirtayasa dapat ditahan Belanda pula.
Sultan Abdul Qahar barangkali mengira dengan penahanan atas lawan-lawan politiknya, maka kekuasaannya terpulihkan. Yang terjadi tidak sesuai keinginan.
Pada akhirnya, Kesultanan Banten eksis sama sekali tidak berdaulat. Kerajaan Islam itu menjadi tidak lebih daripada bawahan Kompeni.
Pada 17 April 1684, Sultan Abdul Qahar terpaksa menandatangani kesepakatan yang terdiri atas 10 pasal dengan Kompeni.
Sejak saat itu, kejayaan Banten redup redam ditelan gurita monopoli dagang VOC. Imbasnya, Pulau Jawa yang dahulu mati-matian dilindungi balatentara Fatahillah dari rongrongan asing, kini berubah menjadi kebun raya raksasa yang terus-menerus dihisap kolonialisme Belanda--bahkan hingga ratusan tahun kemudian.