Rabu 13 Feb 2019 15:08 WIB

Mengenal Tradisi dan Keunikan Pesantren (4)

Pesantren tak bisa dipandang 'sebelah mata'

Sejumlah santri mengaji kitab kuning di Pesantren Ilmu Alquran Al Misbah, Jalan Bahari, Jakarta, Jumat (25/5).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Sejumlah santri mengaji kitab kuning di Pesantren Ilmu Alquran Al Misbah, Jalan Bahari, Jakarta, Jumat (25/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah pesantren terus dinamis pada masa kolonialisme di Tanah Air. Pada akhir abad ke-19, keberadaan lembaga pendidikan islami-tradisional itu kian signifikan.

Istilah pesantren tidak lagi hanya merujuk secara kelembagaan, yakni entitas yang di dalamnya anak-anak Muslim menuntut ilmu, tetapi juga komunitas tersendiri. Kaum santri berpusat pada kiai. Hubungan hierarkis di antara keduanya membentuk identitas dan praktik-praktik yang membedakan santri dengan kelompok-kelompok sosial lain.

Secara kuantitatif, santri pada masa itu juga cukup besar. Arief Subhan (2012) mengutip data pemerintah kolonial yang menyebutkan, jumlah pesantren mencapai 20 ribu hingga 25 ribu unit pada 1873. Total santri sekitar 300 ribu orang.

Meski angka-angka itu dapat didebat (karena mencampurkan pesantren dengan pengajian biasa di masjid atau mushola), data tersebut cukup berguna untuk gambaran. Adapun secara kualitas, komunitas santri bergantung pada basis intelektual kiai, yang bertindak sebagai pendiri dan pengasuh pesantren tempatnya berada.

Maka dari itu, komunitas santri tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, cukup banyak kiai yang memiliki reputasi global, setidak-tidaknya sejak abad ke-17. Jaringan intelektual ulama-tradisional Tanah Air telah merambah hingga dunia internasional.

Itu berkaitan dengan tradisi menuntut ilmu. Orang-orang Nusantara melanjutkan kelana hingga ke Tanah Suci untuk mendalami ilmu-ilmu agama, di samping menunaikan ibadah haji.

 

Jaringan intelektual Ulama

Sekurang-kurangnya, terdapat dua faktor yang membentuk pergumulan ulama Nusantara sepanjang abad ke-19, yakni sarana transportasi dan situasi politik Haramain.

Seperti dijelaskan Saleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia, sejak 1825 para calon jamaah haji dari Nusantara untuk pertama kalinya bisa menggunakan kapal khusus yang langsung mengangkut mereka ke Arab.

Sebelumnya, mereka mesti susah-payah transit dari satu bandar ke bandar lain di pesisir Samudra Hindia, sembari menumpang kapal niaga pula. Beberapa tahun kemudian, kapal uap mulai menggantikan kapal layar, sehingga lebih menghemat biaya perjalanan dan meringkas waktu tempuh. Apalagi, pasca-pembukaan Terusan Suez pada 1869. Wajar bila terjadi peningkatan jumlah calon jamaah haji. Pada 1860, tercatat sebanyak dua ribu orang. Namun, angka itu melonjak menjadi 10 ribu pada 1880.

Dinamika para perantau thalab al-‘ilm ke Tanah Suci ditunjang pula situasi Makkah saat itu. Jajat Burhanuddin dalam Ulama dan Kekuasaan (2012) menjelaskan, kepemimpinan Syarif Usman menumbuhkan iklim intelektual yang kondusif di sana. Pelbagai mazhab yang berbeda-beda dapat berkembang secara relatif harmonis. Syarif Usman menoleransi seluruh mazhab keagamaan, sehingga aktivitas keilmuan berjalan leluasa. Menjelang abad ke-20, tercatat lebih dari 120 lingkaran pengajaran (halaqah) di Masjidil Haram.

 

Baca juga: Mengenal Tradisi dan Keunikan Pesantren (3)

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement