REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memasuki tahun keempat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) diundangkan, akan tetapi masih belum dirasakan kehadirannya bagi masyarakat. UU JPH belum berfungsi menjadi lokomotif penggerak bagi dunia usaha, UKM dan industri halal.
"Sejak diundangkan UU JPH pada 17 Oktober 2014 diharapkan dapat menjadi pemicu bagi tumbuhnya industri halal di Tanah Air tapi realitanya masih jauh dari harapan," ujar Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah usai acara Focus Group Discussion di Hotel Aryaduta, Rabu (28/11).
Menurutnya, ada beberapa alasan UU ini belum juga dirampungkan. Salah satunya menyangkut beberapa kewenangan kementerian terkait, selama ini hanya satu Kementerian PMK ternyata ada dua Kemenko Perekonomian yang turut menyelesaikan UU ini.
“Hasil riset saya ke Sekneg probelmnya disitu. Jadi kewenangan sangat luas, sehingga perlu koordinasi yang kuat dan intens antar kementerian,” ucapnya.
“Lalu lembaga Halal di bawah Kementerian Agama dapat mengatur kementerian yang level birokrasi tinggi, secara etika sulit dilaksanakan. Ini juga problem jadi wajar PP itu lahirnya lama,” ucapnya.
Untuk mengisi kekosangan, LPPOM Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih berperan dalam menjalankan kewenangan sertifikasi halal untuk sementara. Hanya saja, ia meminta pemerintah dapat membantu lembaga ini sebagai penguatan sekaligus menghalau keraguan produsen yang ingin mengajukan permohonan sertifikasi halal.
“Kalau MUI melaksanakan madontry sertifikasi halal maka bebannya sangat berat. Maka perlu ada penguatan kelembagaan sehingga pemerintah juga harus membantu lembaga, ini hal normal karena pemerintah sifatnya memberikan support lembaga yang dicreated masyarakat yang sudah publish,” ungkapnya.
Di sisi lain, pengesahan undang-undang nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal (JPH) sudah sangat mendesak. Menurut dia, masa peralihan antara Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dapat menjadi celah bagi produsen asing untuk membebaskan diri dari kewajiban sertifikasi halal.
“Dengan menyegerakan pengesahan UU JPH, pemerintah secara tidak langsung dapat membendung masuknya produk impor ke dalam negeri. Selain itu, UU JPH dapat menjadi instrumen yang menguatkan rupiah terhadap dolar, mengingat semakin menurunnya nilai tukar rupiah,” ungkapnya.
Ikhsan juga mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) atau mengamandemen pasal 65 UU JPH sebagai Peraturan Pelaksana, jika memang pengesahan PP JPH belum dapat terealisasi dalam jangka waktu dekat. Ia jmenekankan, jaminan kehalalan suatu produk adalah hak setiap masyarakat, khususnya masyarakat Muslim.
“Halal itu hak masyarakat dan itu jelas menjadi kewajiban dan tanggung jawab negara,” katanya.
Ia meyakini, dengan mengubah sistem sertifikasi halal dari sukarela (voluntary) menjadi wajib (mandaroty) dapat membawa pengaruh pada perkembangan jaminan produk halal di Indonesia. “Dengan mewajibkan sertifikasi halal, maka setiap produsen mau tidak mau harus mencantumkan sertfikat halal pada setiap produk mereka,” lanjut dia.