REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kerap terjadi dalam kehidupan rumah tangga tumpuan nafkah ada di pundak satu pasangan saja. Muncullah persoalan, acap kali sedekah hanya ditujukan ke salah satu pihak dan menafikan kubu keluarga yang lain.
Apalagi, bila ternyata sedekah tersebut berasal dari penghasilan istri. Saling ungkit pun muncul. Persoalan sederhana ini kerap memicu konflik dahsyat di internal rumah tangga.
Lalu, bolehkah perempuan yang mandiri dari penghasilan menyedekahkan sebagian dari pendapatannya tersebut ke keluarganya tanpa sepengetahuan suami? Bagaimana semestinya bersikap?
Syekh Nuruddin Abu Lihyah dalam bukunya berjudul, al-Huquq al-Ma’nawiyah liz Zaujah, mengutarakan bahwa ulama sepakat seorang istri berhak membelanjakan pendapatannya sendiri tanpa izin suami. Ini bila berkaitan dengan kebutuhan pokok dan transaksi sehari-hari dan dengan catatan yang bersangkutan dinilai bijak.
Dalam konteks ini, istri memiliki hak yang sama sebagaimana suami. “Kemudian, jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS an-Nisaa [4]:6).
Akan tetapi, dalam kasus seperti di atas, yakni bersedekah, baik kepada orang lain, keluarga, atau bahkan kedua orang tua, para ulama berbeda pendapat terkait hukumnya.
Pendapat yang pertama mengatakan, istri tidak diperbolehkan bersedekah sekalipun dari penghasilannya sendiri bila tidak disertai izin sang suami. Pendapat ini disampaikan oleh Anas bin Malik dan Imam al-Laits. Dalil kubu itu merujuk pada ayat tentang kepemimpinan laki-laki yang tertera di surah an-Nisaa ayat 34. Hadis Abdullah bin Umar yang dinukilkan Imam al-Baihaqi juga dijadikan sebagai dalil.
Dalam riwayat tersebut, Rasululllah SAW menyerukan agar istri tidak memberikan apa pun tanpa izin suami. Ini dikuatkan pula dengan riwayat Abdullah bin Yahya al-Anshari yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
Sedangkan, menurut kelompok yang kedua, seorang istri berhak memberikan sedekah kepada keluarga, orang tua, atau pihak manapun dari penghasilannya tanpa sepengetahuan suami. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, yakni Sufyan ats-Tsauri, Mazhab Hanafi, Syafi’i, Ibn al-Mundzir, salah satu riwayat Ahmad, Abu Tsur, Abu Sualiman, dan pandangan Mazhab Zhahiri.
Seruan bersedekah tidak terbatas pada laki-laki, tetapi juga perempuan yang telah bersuami sekalipun. “Laki-laki dan perempuan yang bersedekah,” (QS al-Ahzab [33]: 35).
Mantan imam Masjid Zainab, Kairo, Mesir, ini menambahkan, berangkat dari pendapat mayoritas ini, seorang istri boleh secara diam-diam membantu orang tua atau keluarganya yang tengah membutuhkan. Karena bagaimanapun, seorang istri juga memiliki otoritas atas harta yang ia peroleh sendiri. Selama dalam koridor kebajikan, suami tidak berhak untuk melarang. “Ini adalah hak istri,” katanya.
Yang menjadi persoalan, sikap diam-diam tersebut acap kali memicu kesalahpahaman dari suami, misalnya. Memang dibutuhkan pemahaman dan komunikasi intens antarkedua belah pihak agar masalah ini tidak menimbulkan kecemburuan. Maka, hendaknya seorang istri mampu bersikap adil dengan tidak hanya mengutamakan sedekah kepada keluarganya sendiri.
Ia harus pula menunjukkan empati kepada keluarga sang suami. Tentu, ini kaitannya dengan bagaimana membina hubungan harmonis seorang istri dan keluarga mertua. Pembahasan topik ini telah dikupas di rubrik yang sama edisi (23/8), perihal bagaimana menciptakan harmoni antara istri dan keluarga mertua.
Menjaga keseimbangan
Secara prinsip, kata Syekh Yusuf al- Qaradhawi dalam kumpulan fatwanya yang terangkum di Fatawa Mu’ashirah, memang benar, taat kepada orang tua bagi seorang perempuan hukumnya wajib. Tetapi, kewajiban tersebut dibatasi selama yang bersangkutan belum menikah.
Bila sudah berkeluarga, seorang istri diharuskan lebih mengutamakan taat kepada suami. Selama ketaatan itu masih berada di koridor syariat dan tak melanggar perintah agama.
Oleh karena itu, ia menambahkan, kedua orang tua tidak diperkenankan mengintervensi kehidupan rumah tangga putrinya. Termasuk, memberikan perintah apa pun kepadanya. Bila hal itu terjadi, merupakan kesalahan besar.
Pascamenikah, maka saat itu juga anaknya telah memasuki babak baru, bukan lagi di bawah tanggungan orang tua, melainkan menjadi tanggung jawab suami. Allah SWT berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). (QS an-Nisaa [4]: 34).
Meski demikian, kewajiban menaati suami bukan berarti harus memutus tali silaturahim kepada orang tua atau mendurhakai mereka. Seorang suami dituntut mampu menjaga hubungan baik antara istri dan keluarganya. Ikhtiar itu kini—dengan kemajuan teknologi—bisa diupayakan sangat mudah. Menyambung komunikasi dan hubungan istri dan keluarga bisa lewat telepon, misalnya.
Al-Qaradhawi menambahkan, di antara hikmah di balik kemandirian sebuah rumah tangga ialah meneruskan estafet garis keturunan. Artinya, keluarga dibentuk sebagai satu kesatuan yang utuh tanpa ada intervensi pihak luar. Bila selalu ada campur tangan, laju keluarga itu akan tersendat.
Sekaligus menghubungkan dua keluarga besar dari ikatan pernikahan. Allah SWT berfirman, “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu ia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Mahakuasa.” (QS al-Furqan [25]: 54).
Ia menyebutkan beberapa hadis lain yang menguatkan pentingnya mendahulukan ketaatan istri kepada suami dibandingkan orang tua. Di antara hadis tersebut, yaitu hadis yang diriwayatkan al-Hakim dan ditashih oleh al-Bazzar.
Konon, Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, hak siapakah yang harus diutamakan oleh istri? Rasulullah menjawab, “(hak) suaminya.” Lalu, Aisyah kembali bertanya, sedangkan bagi suami hak siapakah yang lebih utama? Beliau menjawab, “(Hak) ibunya.”