REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjodohan masih menjadi permasalahan klasik yang terus menyeruak pada era modern. Perempuan-perempuan masa kini menolak perjodohan yang dilakukan orang tuanya dengan alasan zaman. Kisah Siti Nurbaya dijadikan alasan jika perjodohan hanya identik dengan predikat kuno dan primitif.
Sebenarnya, bolehkah seorang orang tua atau wali menjodohkan anak perempuannya tanpa kerelaan sang anak? Pembahasan tentang perjodohan anak perempuan mendapat perhatian dari para ulama. Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya menjodohkan anak perempuan tanpa kerelaan sang anak.
Perwalian hakikatnya adalah hak yang diberikan Islam kepada sebagian orang atas orang lain dengan tujuan tertentu demi merealisasikan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan. Orang yang memiliki hak perwalian ini wajib ditaati oleh orang yang diwalikan kepadanya baik suka maupun tidak suka.
Dua sebab terjadinya perwalian, yakni adanya ketidakmampuan dan ketidaklayakan pada seseorang. Adanya salah satu dari dua sebab ini, menurut para ulama, cukup untuk menjadikan berlakunya hak perwalian orang lain atasnya.
Dalam kitab ad-Duur al-Mukhtar disebutkan perwalian adalah pemberlakuan pendapat atas orang lain. Para ulama menyebut hak perwalian yang otomatis berlaku baik suka maupun tidak suka dengan sebutan hak perwalian ijbar (pemaksaan).
Menurut ulama Hanafiyah, perwalian ijbar tidak dilakukan, kecuali atas anak perempuan yang masih kecil (belum baligh) dengan illat (sebab) perwalian ini merupakan usia anak yang masih kecil. Masih menurut ulama Hanafiyah, jenis perwalian tersebut tidak berlaku pada anak gadis yang sudah baligh. Anak yang sudah baligh tidak mendapatkan pemaksaan dalam perwalian, namun hanya berupa anjuran. Hal ini termasuk urusan pernikahan.
Kitab Tabyin al-Haqaiq menyebutkan bahwa perwalian dalam nikah ada dua. Pertama, perwalian yang dianjurkan saja untuk wanita baligh dan berakal baik perawan atau sudah menikah. Kedua, perwalian ijbar, yakni perwalian atas gadis kecil yang sifatnya mengikat.
Ulama dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa perwalian ijbar ini ditujukan kepada setiap gadis perawan baik yang masih kecil maupun yang telah baligh. Ulama Malikiyah hanya memberikan hak ini kepada ayahnya saja, semdangkan ulama Syafi’iyah memberikannya kepada ayah dan kakek.
Al-Baqi dalam al-Muntaqa berkata, “Kakek dan para wali selain ayah tidak boleh memaksa gadis perawan untuk menikah. Inilah yang dikatakan Malik.”
Seorang ulama Syafi’iyah, As-Suyuthi dalam al-Asybah wa an-Nazhair berpendapat bahwa ayah dan kakek memiliki beberapa hukum yang khusus, di antaranya hak perwalian ijbar untuk menikahkan anak perempuan dan laki-laki.
Al-Khatib asy-Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj berpendapat, ayah berhak menikahkan gadis perawan baik masih kecil maupun telah dewasa tanpa izin darinya. Namun, disunahkan untuk meminta izin darinya. Ayah tidak boleh menikahkan anak yang pernah menikah, kecuali dengan izinnya. Posisi kakek seperti ayah jika ia telah tiada.
Mantan mufti agung Mesir Syekh Prof Ali Jum’ah Muhammad berpendapat sesuai dengan Mazhab Hanafiyah. Syarat terlaksananya pernikahan dari seorang wali atas anak perempuannya yang telah baligh dan berakal, yaitu adanya izin dan kerelaan dari sang anak.
Dalam kitab al-Umm, Imam Syafi’i berpendapat tentang pelibatan sang anak perempuan dalam rencana pernikahan. “Jika seorang wali menikahkan anak perempuan dengan orang berpenyakit kusta, orang gila, atau yang dikebiri maka pernikahan tersebut tidak boleh. Jika anak tersebut telah baligh, ia memiliki hak khiyar (memilih) bila mengetahui penyakit-penyakit tersebut sejak awal.”
Jika seorang anak gadis telah dinikahkan tanpa kerelaannya, ada ulama yang membolehkan sang anak untuk memilih meneruskan pernikahannya atau berpisah. Dalilnya sebuah hadis dari Ibnu Abbas RA, beliau menceritakan, “Ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah SAW dan melaporkan bahwa ayahnya menikahkannya, sementara dia tidak suka. Kemudian, Rasulullah SAW memberikan hak pilih kepada wanita tersebut (untuk melanjutkan pernikahan atau pisah).” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibn Majah). Allahu a'lam.