Kamis 28 Jun 2018 12:54 WIB

Dokter Perempuan Mengkhitan Anak Lelaki, Bolehkah?

Khitan merupakan salah satu fitrah bagi Muslim lelaki.

Seorang anak mengikuti Khitanan Massal dalam rangka Bulan HM Soeharto di Komplek Masjid At-Tin, Jakarta Timur, Ahad (11/3).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Seorang anak mengikuti Khitanan Massal dalam rangka Bulan HM Soeharto di Komplek Masjid At-Tin, Jakarta Timur, Ahad (11/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Khitan merupakan salah satu fitrah bagi Muslim lelaki. Rasulullah SAW bersabda, Kesucian (fitrah) itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis, dan memotong kuku. (HR Bukhari Muslim).

Kegiatan khitan ini terus melembaga pada masyarakat Islam, baik pada masa sahabat, tabiin, tabiut-tabiin (generasi setelah tabiin), maupun pada masa-masa berikutnya.

Bagi laki-laki, khitan berfungsi untuk mempermudah dan mempercepat proses pembersihan fisik sebagai salah satu syarat sahnya ibadah, terutama yang berkaitan dengan kotoran air kencing. Tidak sulit untuk menemukan dokter atau mantri yang menjual jasa khitan.

Teknologinya pun kian beragam. Jika dahulu khitan hanya menggunakan pisau bedah atau dengan alat tradisional seperti bambu, kini khitan bisa dilakukan dengan laser.

Hanya saja, ada kalanya pemilik jasa khitan adalah perempuan. Pertanyaan pun menyeruak, apakah diperbolehkan seorang dokter perempuan mengkhitan anak lelaki? 

Dokter atau mantri perempuan dibolehkan untuk menyunat anak lelaki yang belum baligh, atau sekitar tujuh tahun. Ulama dari mazhab Maliki, Ibn Abi Zayd al-Qayrawaani meng ungkapkan, perempuan boleh memandikan anak lelaki yang berusia enam atau tujuh tahun.

Ulama Maliki lainnya, al-Ghumaari menjelaskan, semua ulama yang mereka kenal dan tak dikenal setuju jika seorang perempuan diperbolehkan untuk memandikan anak lelaki. Meski demikian, ada perbedaan untuk usianya.

Mazhab Maliki memandang jika anak yang diperbolehkan untuk dimandikan berusia di bawah tujuh tahun. Alasannya, dia belum diwajibkan untuk shalat. Dengan demikian, diizinkan untuk melihat auratnya.

Bagaimana dengan anak lelaki yang berusia di atas tujuh tahun? Dilansir dari islamweb, menunjukkan aurat kepada non-muhrim yang bukan istrinya adalah dilarang agama. Para ulama Hanafi mengungkap, aurat bagi lelaki yang sudah baligh, yakni dari pusar hingga lutut. Sementara itu, ulama syafiiyah menilai, pusar dan lutut bukanlah aurat. Apa yang terletak di antara pusar dan lutut adalah aurat.

Meski demikian, dokter atau mantri perempuan dibolehkan untuk memeriksa bagian aurat lelaki jika saja tidak ada dokter atau mantri lelaki. Catatan lainnya yakni adanya kebutuhan darurat yang harus dipenuhi pasien lelaki tersebut. Wallahu a'lam.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement