REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Delegasi Indonesia bertolak ke Baghdad, Irak, Ahad malam (24/6). Mereka akan mengikuti Konferensi Internasional tentang wasatiyah dan Islam moderat. Konferensi ini digelar Dewan Wakaf Sunni Republik Irak.
Delegasi Indonesia terdiri dari tujuh orang, antara lain Muchlis M Hanafi (Ketua Delegasi, mewakili Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin), Muhyiddin Junaidi (MUI), Ikhwanul Kiram Masyhuri (alumni Al Azhar), Saiful Mustafa (UIN Malang/NU), Fathir H Hambali (alumni Syam), Auliya Khasanofa (Muhammadiyah), dan Thobib Al-Asyhar (Kemenag).
"Konferensi ini akan berlangsung dari Senin-Rabu mendatang," kata Muchlis M Hanafi dalam keterangan tulis yang diterima Republika.co.id, Senin (25/6).
Menurut Muchlis, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen mendukung upaya pembangunan kembali Irak, baik di bidang politik maupun ekonomi. "Kita berharap ke depan akan semakin erat, terutama dalam mengembangkan pemahaman keagamaan yang moderat," kata Muchlis.
Sebagai ketua delegasi, Muchlis akan ikut berbicara pada kesempatan konferensi tersebut. Muchlis mengaku akan menyampaikan paparan tentang dunia tanpa ISIS.
Menurutnya, setelah kekalahan ISIS di Irak dan Suriah, kini banyak negara di Eropa, Afrika dan Asia merasa dihantui ‘arus balik’ atau ‘returnis’ ISIS ke negara asal mereka. Terdesak di Irak dan Suriah, sel-sel gerakan ISIS akan menyebar di beberapa negara dengan membawa pemikiran ekstrem radikal berikut keahlian dalam menyusun strategi.
“Bukan tidak mungkin mereka mentransfer pemikiran dan keahliannya kepada kelompok-kelompok ekstrem di tingkat lokal,” ucapnya.
Dalam konteks ini, Muchlis menilai perlu kerja sama internasional dalam penanggulangan terorisme dan ekstremisme untuk mencegah kemunculan ‘ISIS baru’. Setidaknya, meminimalisir dampak negatifnya dan membatasi ruang geraknya.
Selain itu, diperlukan juga upaya meluruskan kesalahpahaman terhadap beberapa konsep dasar keislaman yang selama ini menjadi salah satu faktor kuat munculnya ekstremisme dan terorisme. Negara-negara Islam harus merapatkan barisan dan bergandengan tangan untuk meng-counter ideologi tersebut dan membentengi generasi muda agar tidak terjerumus ke dalam kubangan pemikiran radikal.
"Semua akses menuju pemikiran radikal harus ditutup rapat-rapat. Pada saat yang sama kita juga harus bergerak mempromosikan wacana keagamaan yang moderat," jelasnya.
Melalui berbagai program, terutama pendidikan agama dan keagamaan, lanjut Muchlis, Pemerintah Indonesia dengan didukung oleh ormas-ormas Islam berkomitmen untuk terus memperkuat moderasi Islam sebagai sebuah manhaj keberagamaan. Sejak pertama kali ke Indonesia, DNA Islam Indonesia adalah tawassuth dan wasatiyah sehingga Islam mampu berasimilasi dengan budaya lokal yang sangat beragam.
"Melalui forum ilmiah semacam ini, kita dapat berbagi pengalaman dalam mengembangkan dan memperbaharui wacana keagamaan yang lebih dinamis, harmonis dan humanis. Dengan bersatu, menghargai keragaman dan menghormati perbedaan kita akan mampu menciptakan dunia yang lebih aman dan damai, tanpa ISIS," jelasnya.
Konferensi ini akan membahas empat tema besar. Pertama, peran organisasi keagamaan dalam melindungi masyarakat dari paham ekstremisme. Kedua, perbaikan pemahaman konsep-konsep kunci dalam memerangi ekstremisme (kewarganegaraan, jihad, loyalitas dan kebebasan, ketundukan kepada Allah, proses pemikiran dalam memahami dan memaknai ajaran Islam).
Ketiga, lingkungan sosial dan perannya dalam upaya memerangi ekstremisme. Keempat, peran lembaga pemerintah dan organisasi sosial masyarakat dalam mencegah kebangkitan ISIS.