REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak perbankan syariah saat ini menggunakan akad wadi'ah alias penitipan, khususnya bagi tabungan dan giro. Tabungan merupakan simpanan yang bisa diambil kapan saja. Sementara giro merupakan simpanan yang bisa digunakan sebagai alat pembayaran dan penarikannya dapat dilaku kan setiap saat dengan cek atau perintah pembayaran lainnya.
Pakar ekonomi Islam Dr Syafii Antonio menjelaskan, wadi'ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain. Baik satu individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
Para ulama pun sepakat jika orang atau badan yang dititipi wajib memelihara barang titipan tersebut sebagaimana lazim berlaku pada kebanyakan orang. Karena itu, ada kesepakatan mengenai pemeliharaan terhadap barang yang dititipkan.
Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun menjelaskan, tabung an yang dibenarkan adalah tabungan berdasarkan prinsip mu dharabah dan wadi'ah. Lewat Fat wa No 02/DSN-MUI/IV/2000, DSN MUI menjelaskan, ketentuan umum tabungan yang berda sar kan wadi'ah adalah bersifat simpanan, bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan dan tidak ada imbal an yang disyaratkan. Kecuali dalam bentuk pemberian yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Para ekonom syariah membagi wadi'ah menjadi dua macam. Pertama wadi'ah yad amanah. Ti tipan jenis ini merupakan titipan murni. Pihak yang dititipi tidak boleh memanfaatkan dana atau barang yang dititipkan. Orang yang dititipkan berhak meminta biaya penitipan.
Sewaktu titipan dikembalikan harus dalam keadaan utuh baik nilai maupun fisik barang. Jika selama penitipan terjadi kerusakan maka pihak yang menerima titipan dibebani tanggung jawab.
Berikutnya, yakni wadi'ah yad dhamamah. Dalam akad ini, penerima titipan diperbolehkan memanfaatkan dan berhak mendapat keuntungan dari barang titipan tersebut. Keuntungan yang diha sil kan lewat pemanfaatan barang titipan ini pun dapat diberikan sebagian kepada pihak yang menitipkan dengan sya rat tidak ada perjanjian se be lumnya.
Perbankan syariah umumnya menggunakan akad wadi'ah yad dhamamah untuk masalah tersebut. Artinya, mustawda (per bank an) dapat memanfaatkan dana dan menyalurkan dana yang disimpan serta menjamin dana tersebut dapat ditarik setiap saat oleh muwaddi (nasabah).
Layaknya produk perbankan lainnya, tabungan dan giro merupakan simpanan yang kerap digunakan sebagai modal usaha. Khususnya pemberian kredit. Pertanyaan pun menye ruak. Apakah pihak yang dititipkan uang berhak mengelola atau memanfaatkan uang tersebut un tuk kegiatan usaha?
Lewat Alquran, Allah SWT menyampaikan tentang bagai mana sikap kita terhadap barang titipan. Dalam QS al-Baqarah ayat 283 disebutkan, ".. Maka jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang di percayai itu menunaikan ama nat nya dan hendkalah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.."
Pada ayat lainnya disebutkan, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerima nya, dan (menyuruh kamu) apa bila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Se sungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha melihat." (QS an-Nisa: 58).
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid menjelaskan, pembahasan yang cukup populer mengenai masalah wadi'ah, yakni tentang seseorang yang dititipi barang kemudian ia melampaui wewenangnya dengan memper dagangkan barang tersebut dan memperoleh keuntungan. Apakah keuntungan itu halal atau tidak? Menurut Imam Malik, al- Laits, Abu Yusuf dan beberapa ulama lainnya, jika ia mengembalikan harta pokok titipan, keuntungan itu halal baginya. Sekalipun diperoleh dengan cara meng-gashab harta tersebut. Gashab diartikan sebagai me ngua sai harta orang lain dan tidak ada keinginan untuk me ngem balikannya.
Sementara itu, menurut Imam Abu Hanifah, Zufar, dan Muhammad bin al-Hasan, ia harus me ngembalikan pokok harta titipannya. Dengan catatan, keuntungannya disedekahkan. Ulama lain menjelaskan, harta pokok berikut keuntungannya harus diberikan kepada pemilik barang. Semen ta ra, pendapat lainnya menjelaskan pemilih harta bisa disuruh memi lih apakah mengambil harta po kok atau mengambil keuntungan.
Hanya, ada pula pendapat yang menyatakan jika akad untuk pengelolaan dana lebih cocok meng gunakan akad qiradh. Akad ini merupakan utang piutang antara satu pihak dengan pihak lainnya yang bisa digunakan se ba gai modal usaha. Dalilnya, Umar bin Khattab pernah menyuruh kedua putranya, yakni Abdullah dan Ubaidillah untuk menggunakan harta yang dipinjamkan oleh Abu Musa al-Asy'ari kepada mereka dari Baitul Mal.
Kemudian, mereka memperoleh keuntungan. Ketika itu ditanyakan kepada Abu Musa, "Bagaimana kalau Anda jadikan ini sebagai akad qiradh?" Ia menjawab setuju. Karena ada yang menyatakan bahwa orang yang bekerja itu memperoleh sebagian keuntungan dan si pemilik harta juga memperoleh sebagian keuntung an. Wallahu a'lam.