Jumat 08 Dec 2017 10:30 WIB

Mengungkap Mitos Pembawa Sial

Rep: A Syalabi Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Kodifikasi fatwa (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Kodifikasi fatwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Banyak mitos masih bertebaran tentang pembawa sial. Tak terkecuali di kawasan perkotaan. Pembawa sial dipercaya bisa berbentuk beragam hal. Mulai orang, barang, hingga angka tertentu. Misalnya saja, kita masih sering melihat banyak lift di pusat perbelanjaan atau hotel tidak mau menggunakan nomor tertentu untuk penanda lantainya. Si pengelola percaya jika menggunakan angka tersebut akan membawa sial. Maka, angka itu pun ditambah dengan huruf untuk mengganti angka yang dianggap mendatangkan kerugian.

Begitu pula dengan penanggalan. Sebagian masyarakat kita masih percaya ada tanggal baik dan tanggal buruk. Tanggal baik akan dipilih untuk waktu penyelenggaraan pernikahan, khitanan, dan acara besar lainnya. Sebaliknya, tanggal buruk akan dijauhi karena khawatir bisa mendatangkan malapetaka bagi acara yang diselenggarakan.

Orang bahkan bisa dicap sebagai pembawa sial. Syahdan, ada seorang wanita yang menikah dengan teman sekerjanya. Setelah berkeluarga, mereka pun kerap mengalami cobaan, seperti bencana, sakit, kerugian, dan kecelakaan. Kejadian buruk itu sudah terjadi sebelum keduanya menikah. Hanya, suami dan keluarganya berprasangka bahwa istrinyalah pembawa sial. Jiwa sang istri pun tertekan karena adanya prasangka tersebut.

Bila ditilik dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sial artinya tidak mujur dan segala usahanya selalu tidak berhasil (seperti sukar mendapat rezeki, sukar mendapat jodoh). Sesuatu yang dianggap membawa ketidakmujuran atau pertanda buruk pun dikatakan sebagai pembawa sial. Mufti Agung Al Azhar Mesir Prof Dr Ali Jum'ah Muhammad mengatakan, anggapan adanya pertanda buruk pada sesuatu adalah salah satu tradisi kaum jahiliyah. Tradisi ini dihapuskan dan terlarang di dalam Islam.

Tak kurang, Firaun dan pengikutnya pernah menuding Musa sebagai pembawa sial. Tudingan itu disampaikan saat Allah mencabut kebaikan berupa kesuburan, kelapangan, dan kesehatan. Saat itu, Mesir dilanda musim kemarau yang panjang. Paceklik terjadi dan tumbuh-tumbuhan tak mau menghasilkan pangan. Padahal, dahulu mereka hidup dalam kemakmuran. Firaun lantas menuduh musibah itu disebabkan Musa. Allah pun berfirman bahwa kesialan yang mereka alami merupakan ketetapan dari Allah. Sedangkan, banyak di antara mereka yang tidak mengetahui (QS al-Araf [7] 130-131).

Pada zaman jahiliyah, masyarakat Makkah menganggap datangnya burung malam atau kadang disebut burung hantu sebagai penanda sial. Sebagian orang berkeyakinan kalau rumahnya didatangi burung tersebut, ada salah seorang dari penghuninya yang akan wafat. Pada masa Rasulullah SAW hidup, ada sebagian orang yang berkeyakinan bahwa bulan Safar sebagai bulan kedua tahun Hijriyah adalah bulan sial dan penuh bala. Acara bepergian serta aktivitas pun dibatalkan karena mitos ini. Mitos juga terjadi bahwa pada Rabu terakhir di bulan Shafar, diturunkan 320 ribu bala. Bahkan, ada yang menyebarkan hadis palsu tentang bulan Shafar, yakni, "Barang siapa yang bergembira dengan keluarnya bulan Shafar maka aku akan berikan kabar gembira dengan surga".

Rasulullah memang pernah bersabda tentang adanya kesialan pada tiga hal. Hanya, hadis itu harus ditempatkan pada konteksnya. "Tidak ada penularan penyakit dan tidak ada ramalan sial, tapi terdapat kesialan pada tiga: kuda, perempuan, dan rumah." (Muttafaq alaih). Dalam hadis ini, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa maksud kesialan di sini adalah kesialan yang dapat mendatangkan permusuhan dan bencana. Bukan anggapan sebagian orang yang meyakini bahwa ketiga hal tersebut dapat membawa sial.

Ini terbukti dalam hadis lainnya yang diriwayatkan Sa'ad bin Abi Waqqash RA. Rasulullah SAW bersabda, "Tiga hal yang membuat bahagia: istri yang jika kamu lihat menyenangkanmu dan jika kamu tinggalkan maka kamu merasa tenang atas dirinya dan hartamu, hewan tunggangan yang berjalan cepat sehingga dapat membawamu menyusul para rekanmu dan rumah yang luas dengan banyak fasilitas. Dan tiga hal yang termasuk kesusahan: Istri yang jika kamu lihat maka ia menjengkelkanmu, suka menjelekkanmu dengan mulutmu dan jika kamu tinggalkan kamu tidak tenang atas dirinya dan  hartamu, hewan tunggangan yang lambat, jika kamu pukul maka ia akan menurutimu, tapi jika kamu biarkan maka ia tidak akan membawamu menyusul para sahabatmu dan rumah yang sempit yang tidak mempunyai banyak fasilitas."

Saat ditanya tentang hari sial, Muktamar ke-3 Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya pun memilih pendapat yang tidak membolehkan. Fatwa Muktamar NU pun memutuskan, "Barang siapa yang bertanya tentang hari sial dan sesudahnya maka tidak perlu dijawab, melainkan dengan berpaling, menganggap bodoh tindakannya dan menjelaskan keburukannya, dan menjelaskan bahwa semua itu merupakan kebiasaan orang Yahudi, bukan petunjuk bagi orang Islam yang bertawakal kepada penciptanya yang tidak pernah menggunakan hisab (perhitungan hari baik dan buruk)."

"Sedangkan, keterangan mengenai hari-hari apes dan semacamnya yang dinukil dari Ali karramallahu wajhah adalah batil dan merupakan suatu kebohongan yang tidak memiliki dasar. Karena itu, berhati-hatilah kalian dari hal-hal tersebut."

Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa menganggap sesuatu mendatangkan kesialan adalah dilarang dalam syariat Islam. Karena segala sesuatu berjalan sesuai dengan kekuasaan Allah. Nomor, barang, atau istri seseorang tidak mungkin mendatangkan kebaikan atau keburukan bagi seseorang. Wallahu a'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement