REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syara' memang menghukumi darah haid sebagai najis. Dalam syariat, haid bermakna darah yang keluar dari (rahim) seorang perempuan secara alami, tanpa sebab apa pun pada waktu-waktu yang sudah dimaklumi. Syekh Al Utsmain menjelaskan, darah haid keluar tanpa sebab sakit, luka, jatuh, atau melahir kan. Darah haid adalah darah alami yang ber beda sesuai dengan perbedaan diri perempuan itu sendiri, lingkungan, dan suasana tempat tinggalnya.
Darah haid pun disepakati para ulama sebagai sesuatu yang najis. Ini sesuai dengan hadis Nabi SAW. "Seorang perempuan datang menemui Nabi SAW seraya berkata, "Pakaian salah seorang dari kami (wanita) terkena darah haid, apa yang harus dia lakukan?" Be liau menjawab, "Keriklah darah itu, kemudian bilaslah dia dengan air, kemudian cucilah ia. Setelah itu (kamu boleh) memakainya untuk shalat." (HR Al-Bukhari No 330 & Muslim No 291).
Seseorang baru bisa suci setelah darah haid itu berhenti keluar kemudian melakukan penyucian besar, yakni mandi. Hanya, sering terjadi kesalahpahaman antara darah haid dan perempuan yang mengalami haid itu. Yusuf Qaradhawi dalam Fiqih Kontemporer mengungkapkan, sejak dulu memang ada anggapan jikalau perempuan haid itu juga menjadi najis karena darah yang dikeluarkannya.
Tidak kurang, Ummul Mukminin Siti Aisyah sempat ragu untuk mendekati Rasulullah SAW ketika diminta untuk membawakan tikar. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Sayyidah Aisyah RA berkata,"Bawalah ke sini tikar kecil itu!" Lalu Aisyah berkata, "Saya sedang haid, wahai Rasulullah." Nabi SAW pun bersabda, "Se sungguhnya haidmu itu tidak di tanganmu."
Menurut Syekh Qaradhawi, makna dari hadis ini adalah tangan wanita yang sedang haid itu tidak najis. Oleh karena itu, benda yang disentuhnya termasuk air, tidaklah menjadi najis. Air tersebut tetap dalam ke adaan suci meski sudah disentuh wanita haid.
Pun dengan orang yang sedang dalam keadaan junub (selesai melakukan hubungan biologis dan belum mandi). Syekh Qaradhawi menjelaskan, jinabat tidak menjadikan tubuh yang bersangkutan menjadi najis. Abu Hu rairah juga pernah mengira bahwa kondisi ji nabat menjadikan tubuhnya najis.
Karena itu, pada suatu hari ia berpapasan dengan Ra sulullah SAW, Abu Hurairah sem pat menjauh. Ketika Nabi menanyakan ten tang si kapnya tersebut, Abu Hurairah menjawab, "Saya dalam keadaan junub." Ra sulullah SAW kemudian bersabda, "Mahasuci Allah. Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis." Wallahu a'lam.