REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai seorang ibu, mengasuh anak merupakan kewajiban yang harus dilakukan, termasuk menyusui. Kewajiban ini berlaku selama status ibu sebagai istri. Ibu juga masih menanggung kewajiban tersebut meski sedang menjalani masa iddah atau masa tunggu saat berada dalam masa perceraian. Penyebabnya, mereka telah menerima nafkah secukupnya yang diwajibkan bagi masing-masing baik sebagai istri meski menjalani iddah.
Di dalam Alquran, Allah SWT berfirman,"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan menjadi kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Dan tak satu pun di bebani kecuali sekadar kemampuannya." (QS Al Baqarah:233).
Dikutip dari buku Panduan Lengkap Muamalah karya Muhammad Bagir, setelah berlalunya masa iddah, ibu pun berhak mendapat upah sebagai pengasuh sebagaimana dia berhak untuk menerima upah usai menyusui.
Di dalam QS At Thalaq ayat 6, Allah SWT berfirman, ".. Dan jika mereka (yakni, para istri yang te lah ditalak) sedang dalam keadaan hamil, berikanlah kepada mereka nafkahnya sehingga mereka telah melahirkan. Kemudian, jika mereka me nyu sui anak-anak kamu, berikanlah kepada mereka upahnya. Dan bermusyawarahlah di an tara kamu (tentang apa saja yang diperlukan) de ngan sebaikbaiknya. Tetapi sekiranya kamu me nemui kesulitan (yakni tidak menjumpai kese pa katan dengan mereka) maka perempuan lain bo leh menggantikan dalam menyusui (anak kamu)...."
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwasanya ayat tersebut bermakna apabila mereka telah bersalin, sedangkan mereka telah diceraikan dengan talak tiga, maka mereka telah terpisah selamanya dari suaminya begitu iddah mereka habis (yaitu melahirkan kandungannya).
Kemudian, bagi wanita yang bersangkutan diperbolehkan menyusui anaknya atau menolak untuk menyusuinya, tetapi sesudah ia memberi air susu pertamanya kepada bayinya yang merupakan kebutuhan si bayi. Dan jika ia mau menyusui bayinya, maka ia berhak untuk mendapatkan upah yang sepadan, dan ia berhak mengadakan tran saksi dengan ayah si bayi atau walinya sesuai de ngan apa yang disepakati oleh kedua belah pihak mengenai jumlah upahnya.
Selanjutnya, menurut Imam Ibnu Katsir, apa bila pihak lelaki dan pihak wanita berselisih, misal nya pihak wanita menuntut upah yang banyak dari jasa penyusuannya, sedangkan pihak laki-laki ti dak menyetujuinya, atau pihak laki-laki memberinya upah yang minim dan pihak perempuan tidak menyetujuinya, maka perempuan lain boleh me nyu sukan anaknya itu. Namun seandainya pihak si ibu bayi rela dengan upah yang sama seperti yang diberikan kepada perempuan lain, maka yang paling berhak menyusui bayi itu adalah ibunya.
Menurut Muhammad Bagir, apabila yang meng asuh adalah orang lain bukan si ibu kandung, maka dia berhak menerima upahnya sejak saat dimulainya tugas pengasuhan. Sama seperti se orang perempuan yang disewa untuk menyusui se orang anak. Wallahualam.