Jumat 21 Jul 2017 07:09 WIB

Semarak Ramadhan di Negeri Matahari Terbit

Acara buka bersama di Jepang
Foto:

Pada Ahad (11/6), Muslim Community of Miyazaki mengadakan iftar (berbuka puasa bersama), mengundang masyarakat Jepang dan student dari manca negara yang beragam suku, bangsa, dan keyakinan. Pada acara tersebut, hadir sekitar 200 orang Jepang dari berbagai unsur, di antaranya kalangan akademisi, pemerintah, dan masyarakat umum. Serta dihadiri oleh kurang lebih 200 Muslim.

Di sana ada penjelasan tentang Islam dan Ramadhan oleh Sheikh Saeed Sato, ulama asal Jepang dari Tokyo. Banyak tanggapan dan ungkapan kegembiraan dari orang-orang Jepang kepada Muslim Community, khususnya di Miyazaki-Jepang. “Totemo tanosikattadesu. I really Iearned about Islam. Thank you,” kata Ryo Tsumura, Tokoh masyarakat Jepang Miyazaki.

Acara Ramadhan Tent 2017 diadakan dengan tujuan utamanya untuk meningkatkan hubungan baik antara Komunitas Muslim dan Entitas lainnya yang ada di Miyazaki. Selain itu, acara Ramadhan Tent juga ditujukan untuk mengenalkan Islam dan Ramadhan, serta Budaya Islam kepada khalayak ramai, tidak hanya masyarakat Jepang, tapi juga masyarakat nonmuslim dari berbagai negara.

Turut hadir juga pada acara Tenda Ramadhan & Lecture tersebut President University of Miyazaki, para Professor, staff, sponsorship, undangan dari Police Department dan Perwakilan Prefecture (Pemerintah Provinsi Miyazaki). “Sungguh meriah dan penuh rasa kebersamaan dan kekeluargaan, bersama berkumpul dalam satu kesatuan. Sebuah harmonisasi yang muncul ke permukaan dengan indah penuh warna dan makna sebagai representasi kultural dari keberkahan bulan Ramadhan,” kata Asep Denih, President Muslim Community of Miyazaki yang juga kandidat Doktor di Miyazaki University.

Suasana Ramadhan di Jepang memang penuh dinamika, selain karena waktu yang berpuasa selama sekitar 17 jam dan suhu cukup panas, ketersediaan makanan halal, juga keterbatasan sarana masjid. Tapi bagi kaum Muslimin, mereka menyadari betapa tantangan itu menjadikan ibadah Ramadhan mereka lebih bermakna, karena suasana dan atmosfir perjuangannya lebih terasa.

Di sisi lain, ini juga menjadi sarana dakwah karena orang-orang Jepang terheran-heran dengan aktifitas ritual kaum Muslim yang shalat lima kali sehari, perempuan berhijab, shaum di tengah teriknya musim panas, tidak makan babi, tidak minum minuman beralkohol, dan lain-lain. Warga Jepang sendiri mayoritas mengantu Budha, Shinto, Konfusianisme dan sisanya Kristen. Tapi bagi mereka, agama bukan merupakan sebuah ajaran yang mengatur seluruh kehidupan mereka, tapi lebih pada etika sosial.

Keyakinan mereka lebih dekat kepada agnostisme, yakni keyakinan terhadap adanya Tuhan, tapi tanpa ajaran agama. Maka tidak heran jika ada orang Jepang yang ketika lahir menggunakan ritual Shinto, menikah di Gereja, dan proses kematian dengan cara Budha. Termasuk dalam prosesi pernikahan, pilihan antara di kuil atau di gereja hanya pilihan gaya klasik atau gaya modern. Tapi, dalam custom dan etika sosial, orang Jepang memang dikenal memiliki nilai-nilai yang luhur dan mereka komitmen dalam implementasinya, seperti kedisplinan, komitmen, keteraturan, kesopanan, tidak mau mengganggu orang lain, kebersihan, tepat waktu, dan menjaga kelestarian alam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement