Jumat 21 Jul 2017 07:09 WIB

Semarak Ramadhan di Negeri Matahari Terbit

Acara buka bersama di Jepang
Foto:

Acara akbar sendiri dipusatkan di Masjid Tokushima yang terletak di Kota Tokushima yang merupakan satu-satunya masjid yang terletak di pulau Shikoku. Masjid ini telah berdiri lebih dari 10 tahun. “Alhamdulillah dengan keberadaan Masjid Tokushima memudahkan para perawat Muslim Indonesia dalam beribadah di Jepang, di mana Muslim merupakan minoritas. Di Tokushima sendiri ada lebih dri 200 perawat dan Muslim Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah tersebut,” kata Surono.

Di Jepang, pria asal Bogor tersebut aktif dalam kegiatan dakwah dan menjadi Pembina Ikatan Persaudaraan Trainee Indonesia di Jepang (IPTIJ) Kanto dan Ikatan Perawat Muslim Indonesia (IPMI) Jepang. Di Indonesia, ia adalah peneliti di Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian RI.

Suasana berbuka di Masjid tertua di Jepang, Kobe, terasa penuh kehangatan dan ukhuwah diantara jamaah yang berasal dari beragam etnik. Tradisi memberikan takjil dan makanan utama sudah menjadi acara rutin tiap tahun.

Wiwin Is Effendi, mahasiswa PhD bidang Respiratory Medicine di Universitas Kobe menceritakan, para dermawan dan pemilik rumah makan halal sekitar Kobe bergiliran menawarkan aneka ragam masakan khas negaranya masing-masing. Kuliner dari India dan Jazirah Arab mendominasi menu utamanya.

Menurut dia, kelezatan sajian khas Indonesia belum pernah masuk daftar di masjid tertua Jepang ini. Setelah berdiskusi dan berkoordinasi dengan ibu-ibu warga Indonesia, akhirnya diputuskan mereka akan masak di masjid.   

Hidangan berbahan dasar kambing dan ayam tetap jadi pilihan utama. Agar berbeda, maka para Muslimah meracik dan mengolah bumbu khas. Santan dan variasi rempah asli Indonesia melengkapi menu populer Indonesia, yaitu gulai dan kare. Tidak ketinggalan beberapa mahasiswa dan warga Muslim membantu para koki ini karena ada aturan bahwa wanita hanya diberikan kesempatan masuk dapur masjid sampai pertengahan hari. Benar-benar hari yang melelahkan karena itu pengalaman pertama kami.

Aroma harum dan legit santan berpadu dengan bumbu-bumbu lainnya tercium dari sepanci besar gulai kambing. Potongan tulang dan serpihan daging timbul tenggelam saat diaduk. Di sebelahnya, warna kuning kare ayam dan semerbak gurih bawang merah goreng yang ditaburi di atasnya semakin memaksa kelenjar liur kami bekerja ekstra.

Cita rasa dan keaslian menu akan terjaga dengan dipanaskan di atas api kecil. Tidak ketinggalan untuk dipopulerkan adalah paduan beras dan minyak kelapa dalam tiga wadah besar nasi gurih. Tepat saat adzan maghrib, para jamaah menikmati takjil es buah ala ibu-ibu Kobe serta kurma dan gorengan bakwan.

Selepas menunaikan jamah Shalat Maghrib, tibalah waktu yang dinanti. Saatnya kami mengedarkan gulai kambing dan kare ayam di atas mangkuk-mangkuk. Keriuhan seketika terjadi karena ternyata begitu cepat habisnya masakan yang dibagikan. Dari dapur kami lihat, jamaah begitu lahap menyantap sepiring nasi gurih yang disiram kuah. Lalapan sayur yang disiapkan khusus pun ludes dalam sekejap.

Jadilah olah racikan hidangan Indonesia menjadi bintang di senja itu. “Akhirnya setelah seharian berkutat di dapur dan bermandi peluh, kepuasan para jamaah menghilangkan capek kami. Ucapan syukur dan doa terucap dari saudara Muslim negara lain. Ada rasa bangga bisa mempromosikan kuliner khas Indonesia,” ujar dosen pria kelahiran Lamongan itu. Di Indonesia, dr Wiwin merupakan dosen di Fakulas Kedokteran Universitas Airlangga yang juga dokter spesialis paru di RS Unair.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement