REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi Muslimah yang juga seorang ibu rumah tangga, mengurus rumah adalah bentuk aktivitas rutin sekaligus bernilai ibadah. Membuat tampilan dan isi rumah menarik, tentu termasuk di dalam tugas tersebut. Mulai dari memilih kursi di ruang tamu, tirai jendela ataupun pintu, karpet, dan perabotan lainnya. Segenap aksesoris rumah itu sengaja dipilih untuk menambah kesan ciamikbagi mereka yang melihatnya.
Prof Abd Al Karim Zaidan menjelaskan dalam bukunya yang berjudul al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’at, dalam Alquran juga disebutkan tentang bagaimana tradisi memilih dan memilah perabot juga diketegorikan sebagai salah satu kegiatan mendasar umat manusia.
“Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemahkemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)-nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta, dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” (QS. An Nahl [16] :80)
Tetapi, lanjutnya, tak semua perabot itu bisa dipergunakan begitu saja. Ada sejumlah perabot yang mendapat perhatian serius dari segi hukum Islam. Salah satunya ialah parabot yang mengandung unsur sutra.
Sutra, sebagaimana hadis Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Zurair, memang hukumnya bagi perempuan berbeda dengan laki-laki. Muslimah boleh mengenakannya, baik yang kadarnya murni seratus persen ataupun yang telah tercampur. Hukum ini tidak berlaku bagi laki-laki, alias sutra tak boleh dipakai.
Lantas bagaimana dengan pemakaian sutra untuk perabotan?
Kasus pertama yang dicermati Zaidan di buku yang terdiri atas 11 jilid ini, ialah soal sutra yang dijadikan sebagai lapisan tempat duduk dan bersandar, seperti kursi atau perabot untuk tidur seperti kasur atau kain sprai. Ia menggarisbawahi kategori sutra di sini ialah kandungan 100 persen, atau sebagian besarnya, atau kadarnya 50:50.
Menurut Mazhab Hanbali, penggunaan sutra untuk perabot jenis ini ialah haram. Pendapat ini merujuk pada hadis Hudzaifah bin al-Yaman. Riwayat itu menyebutkan bahwa selain haram digunakan sebagai pakaian sutra juga tak boleh digunakan sebagai alas duduk ataupun tidur. Masih menurut Mazhab Hanbali, hukum ini berlaku bagi pria. Sedangkan pemanfaatan sutra untuk alas duduk dan perabot rumah, khusus bagi perempuan diperbolehkan.
Pendapat yang sama juga berlaku di kalangan Mazhab Syafi’i. Menurut mereka, riwayat Hudzaifah tersebut cukup kuat. Bila sutra haram dikenakan maka demikian pula dengan hukum menggunakannnya sebagai perabot. Terlebih bila dikenakan untuk aksesoris dan pelengkap rumah. Tindakan ini bisa dianggap sebagai bentuk berlebih-lebihan (israf)
Berbeda dengan kedua mazhab tadi, di kalangan Hanafi, hukum menjadikan sutra sebagai alas diperbolehkan dan tidak makruh. Pandang an ini bersumber langsung dari Abu Hanifah, pencetus mazhab. Sedangkan menurut kedua gurunya, Abu Yusuf dan Muhammad, hukumnya makruh. Alasannya, baik mengenakan atau menempatkannya sebagai alas, samasama masuk dalam hukum memakai.
Pandangan nyaris sama juga diutarakan oleh al-Malik bin al-Majisyun. Tokoh bermazhab Maliki itu memberikan dispensasi penggunaan sutra untuk perabotan yang berfungsi sebagai alas. Tetapi, tetap saja, ma yoritas Mazhab Maliki tidak memperbolehkannya.
Kasus selanjutnya yang dicermati oleh Zaidan ialah pemanfaatan tirai yang berbahan dasar sutra. Tirai itu, bisa jadi ada yang dipasang di jendela ataupun pintu utama rumah. Menurut Mazhab Hanbali dan Syafi’i penggunaan kain berbahan sutra untuk tirai tidak diperbolehkan. Sedangkan dalam pandangan Mazhab Hanafi, pemasangan kain sutra sebagai tirai tidak dipersoalkan, alias boleh. Pendapat ini sama persis dengan pendapat Mazhab Maliki. Sementara itu, kedua guru Abu Ha nifah, menghukuminya makruh.