REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Melihat aurat orang lain itu hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali jika hal itu terjadi tanpa sengaja. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadis sahih dari Jarir bin Abdul lah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah SAW tentang memandang (aurat orang lain) secara tiba-tiba (tidak disengaja).” Lalu, Beliau bersabda, “Palingkanlah pandanganmu.” (HR Muslim).
Lantas, bagian mana saja yang disebut aurat laki-laki?
Seperti dikatakan ulama asal Mesir yang kini menetap di Qatar, Dr Syekh Yusuf al-Qaradhawi, kemaluan adalah aurat mughalladzah (besar/berat) yang telah disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang lain dan haram pula melihatnya kecuali dalam kondisi darurat seperti berobat dan sebagainya.
“Bahkan jika aurat ini ditutup dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan bentuknya, ia juga terlarang menurut syara,” katanya.
Mayoritas fukaha berpendapat, paha laki-laki termasuk aurat dan aurat laki-laki ialah antara pusar dan lutut. Dalam hal ini terdapat rukhsah (keringanan) bagi para olahragawan dan sebagainya yang biasa mengenakan celana pendek, begitu juga bagi para pandu (pramuka) dan pencinta alam.
Perlu diingat, kata Syekh al-Qaradhawi, aurat lakilaki itu haram dilihat, baik oleh perempuan maupun sesama laki-laki. Ini merupakan masalah yang sa ngat jelas. Sedangkan, bagian tubuh yang tidak termasuk aurat laki-laki, seperti wajah, rambut, lengan, bahu, betis, dan sebagainya, menurut pendapat yang shahih, boleh dilihat selama tidak disertai syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah.
Terkait masalah wanita memandang laki-laki, dalam hal ini terdapat dua riwayat. Pertama, ia bo leh melihat laki-laki asal tidak pada auratnya. Kedua, ia tidak boleh melihat laki-laki melainkan hanya bagian tubuh yang laki-laki boleh melihatnya. Pendapat ini yang dipilih oleh Abu Bakar dan merupakan salah satu pendapat di antara dua pendapat Imam Syafii.
Hal ini didasarkan pada riwayat az-Zuhri dari Ummu Salamah, yang berkata, “Aku pernah duduk di sebelah Nabi SAW, tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum me minta izin masuk. Kemudian Nabi SAW bersabda, “Berhijablah kamu dari padanya.” Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, dia itu tunanetra.” Kemudian Be liau menjawab dengan nada bertanya, “Apakah ka mu berdua (Ummu Salamah dan Maimunah) juga buta dan tidak melihatnya?” (HR Abu Daud dan lain-lain) Jadi, bagaimana jika seorang wanita memandang laki-laki? Menurut Syeikh al-Qaradhawi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat tidak dibarengi dengan upaya menikmati dan bersyahwat. Jika ada unsur menikmati dan bersyahwat, hukumnya haram. Karena itulah, Allah menyuruh kaum Muslimah menundukkan sebagian pandangannya sebagai mana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian pandangannya.
Firman Allah: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS an-Nur: 30-31)
Memang benar bahwa wanita dapat membang kitkan syahwat laki-laki lebih banyak daripada lakilaki membangkitkan syahwat wanita, dan memang benar bahwa wanita lebih banyak menarik laki-laki, serta wanitalah yang biasanya dicari laki-laki. Meski demi kian, tak tertutup kemungkinan bahwa di anta ra laki-laki ada yang menarik pandangan dan hati wanita karena kegagahan, ketampanan, keper kasaan, dan kelelakiannya, atau karena faktor-faktor lain yang menarik pandangan dan hati perempuan.
Apabila seorang wanita melihat laki-laki lantas timbul hasrat kewanitaannya, hendaklah ia menundukkan pandangan. “Janganlah ia terus meman dangnya demi mencegah timbulnya fitnah, dan bahaya itu akan bertambah besar lagi bila si lakilaki juga memandangnya dengan rasa cinta dan syahwat,” kata Syekh al-Qaradhawi dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer.