Jumat 12 May 2017 15:20 WIB

Menelusuri Jejak Islam di Tanzania

Safari singa di Taman Nasional Manyara, Tanzania.
Foto: Wanderlust
Safari singa di Taman Nasional Manyara, Tanzania.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut Mark Horton dan John Middleton dalam The Swahili: The Social Landscape of a Mercantile Society,  bukti nyata awal kehadiran Muslim di Afrika Timur adalah fondasi sebuah masjid di Shanga di Pulau Pate. Dalam sebuah penggalian tahun 1980-an, di lokasi tersebut ditemukan koin emas, perak, dan tembaga dengan keterangan tahun 830 M.

Sedangkan sebuah bangunan utuh tertua di Afrika Timur adalah sebuah masjid yang masih berfungsi di Kizimkazi, sebelah selatan Zanzibar, dan berketerangan tahun 1007 Masehi. Dalam Majoritetens Islam (Stockholm, 1994) disebutkan, Islam diperkirakan tersebar luas di daerah Samudra Hindia pada abad XIV.

Ketika Ibnu Batuta, seorang musafir Muslim dari kawasan Maghrib, mengunjungi pesisir Afrika Timur tahun 1332, ia menuliskan bahwa Islam di sana membuatnya merasa seperti di rumah sendiri. Sebagian besar masyarakat di pesisir waktu itu adalah Muslim dengan Arab sebagai bahasa sastra dan perdagangan.

Seluruh Samudra Hindia, menurut Ibnu Batuta, seolah menjadi "Laut Muslim" di mana Muslim menguasai perdagangan dan mendirikan permukiman pesisir di Asia Tenggara, India, dan Afrika Timur.

Kisah Islam di Tanzania sendiri diawali dengan berdirinya sebuah kesultanan di Pulau Kilwa (cikal bakal Tanzania), yang kemudian disebut Kesultanan Kilwa, sekitar tahun 960-1000 Masehi. Kesultanan Islam tersebut didirikan oleh seorang pangeran Persia dari Shiraz (sekarang merupakan salah satu kota padat penduduk di Iran), Ali ibn al-Hassan el-Shirazy.

Ali membeli pulau Kilwa dari seorang raja kelompok etnis Bantu, Almuli, dengan imbalan kain berwarna sebanyak bisa menutupi seluruh lingkar pulau tersebut. Menurut sejarah, Ali kemudian menjadi sultan pertama Kilwa pada tahun 957. Kesultanan ini berakhir pada 1506, tujuh tahun setelah Portugis berkuasa di Kilwa.

Islam tersebar di Afrika Timur melalui kegiatan perdagangan di sepanjang pantai, bukan melalui ekspansi wilayah dan penaklukan seperti yang terjadi di Afrika Barat. Abdulaziz Y Lodhi dan David Westerlund (1997) dalam African Islam in Tanzania, menyebutkan, ketika kekerasan oleh Portugis terjadi di daerah pesisir pada abad XVI, Islam di kawasan pantai telah kokoh.

Hampir seluruh keluarga penguasa memiliki hubungan kekerabatan dengan Arab, Persia, India, dan bahkan Asia Tenggara sebagai dampak dari kontak maritim dan koneksi politik yang terjalin. Karena itu, pada akhir abad XVII dan awal abad XVIII, umat Islam berhasil mengusir Portugis dengan bantuan Omani Arab.

Orang Arab kemudian secara bertahap meningkatkan pengaruh politik mereka hingga akhir abad XIX ketika penakluk Eropa tiba di pantai Afrika Timur. Namun, Abdulaziz Y Lodhi dalam tulisannya, Muslims in Eastern Africa-Their Past and Present yang dimuat dalam Nordic Journal of African Studies (1994), meragukan bahwa Islam dibawa ke Afrika Timur, melainkan membawa pengaruhnya kepada orang-orang di luar Afrika Timur.

Ia mengatakan bahwa mengakui praktik Islamisasi di Afrika Timur sebagai praktik yang dilakukan orang-orang Arab adalah pernyataan yang ironis. Abdulaziz menambahkan, Islam tidak meng-Arab-kan Afrika Timur. Sebaliknya, ia melihat bahwa para imigran Arab yang berdagang di pantai Afrika Timur dan segala praktik keislaman pada masa itu di-Afrika-kan dan di-Swahili-kan.

Hal itu dibuktikan dengan fakta bahwa orang-orang Arab yang masuk ke Afrika Timur akhirnya berbicara, berpakaian, dan makan dengan cara orang Swahili. Dengan demikian, Islam ditegaskan bukan sebagai sebuah agama asing yang masuk ke Afrika Timur, melainkan sebuah agama lokal yang telah lama berkembang di sepanjang garis pantai Swahili, termasuk di Kilwa dan Zanzibar, yang kini menjadi bagian dari Tanzania.

Disarikan dari Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement