Kamis 11 May 2017 21:31 WIB

Fritjhof Schuon, Filsuf yang Bersyahadat

Rep: Dia/Berbagai Sumber/ Red: Agung Sasongko
Mualaf (ilustrasi).
Foto:

Dalam pandangan Schuon, Islam lebih baik dari Hindu karena agama ini memuat bentuk terakhir dari Sanatana Dharma. Ajaran Islam, menurutnya, tidak hanya memuat aspek esoterisme (mencakup aspek metafisis dan dimensi internal agama), tetapi juga aspek eksoterisme (mencakup aspek eksternal, dogmatis, ritual, etika, dan moral suatu agama). Sementara ajaran Hindu hanya mengedepankan salah satu aspek tersebut.

Tahun 1980, Schuon dan istrinya beremigrasi ke Indiana, Amerika Serikat. Ia bermukim di negeri Paman Sam ini hingga akhir hayatnya pada 1998. Sepanjang hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 20 karya tulisan. Meski berbagai gagasan yang ia tuangkan melalui karya-karyanya ini banyak menuai kritikan dan perdebatan, namun hingga kini pemikirannya tersebut masih dipuji dan diikuti oleh sejumlah intelektual bertaraf internasional dan lintas agama.

Frithjof Schuon dikenal luas sebagai seorang tokoh terkemuka dalam bidang religio perennis (agama abadi). Ia menegaskan prinsip-prinsip metafisika tradisional, mengeksplorasi dimensi-dimensi esoteris agama, menembus bentuk-bentuk mitologis dan agama, serta mengkritik modernitas.

Schuon, sebagaimana dipaparkan Adnin Armas MA dalam tulisannya yang bertajuk Pluralisme Agama dan Gerakan Freemason, juga mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris dan esoteris, sekaligus menyingkap titik temu metafisika antarsemua agama ortodoks. Ia mengungkap, satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas, dan Maha Sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepada-Nya. Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa, yakni Allah SWT.

Dalam pandangan Schuon, dogma, hukum, moral, dan ritual agama adalah berbeda. Ia berpendapat agama-agama mengandung dimensi eksoteris dan esoteris. Kedua dimensi ini yang inheren dalam agama berasal dari dan diketahui melalui intelektual.

Menurut Schuon, secara psikologis, ego manusia terkait dengan badan, otak, dan hati. Jika badan diasosiasikan dengan eksistensi fisik, otak dengan pikiran, hati dengan intelektual. Jika dikaitkan dengan realitas, intelektual dapat diasosiasikan dengan esensi Tuhan (Yang Satu) dan langit (alam yang menjadi model dasar), sedangkan pikiran dan badan meliputi dunia fisik, terestrial. Intelektual dalam hal ini sangat penting karena otak dan badan di bawah kendali dan berasal dari intelektual.

Intelektual adalah pusat manusia (the centre of human being), yang bersemayam di dalam hati. Kualifikasi intelektual harus didampingi dengan kualifikasi moral. Jika tidak, secara spiritual, intelektual tidak akan berfungsi. Hubungan antara ‘intelektualitas’ dan ‘spiritualitas’ adalah bagaikan hubungan antara pusat dan pinggiran. Intelektualitas menjadi spiritualitas ketika manusia sepenuhnya hidup di dalam kebenaran.

Intelektual lebih tinggi dari rasio. Karena, jika rasio itu menyimpulkan sesuatu berdasarkan kepada data, mental berfungsi karena eksistensi intelektual. Rasio hanyalah media untuk menunjukkan jalan kepada orang buta, bukan untuk melihat.

Sedangkan intelektual, dengan bantuan rasio, bisa mengungkapkan sesuatu dengan sendirinya secara pasti. Selain itu, intelektual dapat menggunakan rasio untuk mendukung aktualisasinya. 

Di dunia fisik, intelektual terbagi menjadi pikiran dan badan. Di alam langit yang menjadi model dasar atau di dalam ide Plato, pikiran dan badan merupakan makna yang tidak dibedakan. Manusia memahami kebenaran melalui intuisi. Sebagai sebuah daya, intelektual adalah dasar bagi intuisi. Intuisi membedakan antara yang riil dan ilusi, antara wujud yang wajib dan wujud yang mungkin. Implikasinya, ada realitas transenden di luar dunia bentuk.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement