Ahad 07 May 2017 16:15 WIB

Antara Patriotisme dan Agama

Rep: Siwi Tri Puji B/ Red: Agung Sasongko
Seorang Muslim Uighur berada di depan militer yang patroli di wilayah Xinjiang.
Foto: Reuters
Seorang Muslim Uighur berada di depan militer yang patroli di wilayah Xinjiang.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Tinggal di Provinsi Xinjiang, Cina, artinya harus siap hidup bak di bawah mikroskop di meja peneliti. Tak ada lagi privasi. Pihak berwenang Cina di wilayah ini tahu dan mencatat setiap warga, termasuk hal-hal pribadi; apa yang dimakan, bagaimana penampilannya, bagaimana cara ber pa kaiannya, hingga lagu apa yang ada di ponsel cerdas mereka.

Di sepanjang Kashgar, jalur niaga paling populer berabad lampau itu, ratusan kame ra pengawas dipasang. Patroli polisi dilaku kan beberapa kali sehari. Ini tidak termasuk patroli yang dilakukan oleh apa yang dinamai penduduk setempat sebagai 'polisi lingkungan' yang berpatroli dengan berjalan kaki hingga ke dalam gang. Aktivi tas 500 ribu warganya yang hampir 90 persen beragama Islam dan beretnis Uighur terpantau setiap hari.

Saat kita mendengar lantunan ayat suci Alquran dari puluhan corong pengeras suara masjid di sekitar kita selama Bulan Ramadhan dengan leluasa, tidak demikian dengan mereka. Bisa berpuasa di bulan Ramadhan adalah 'kemewahan' tersendiri. Para polisi lingkungan ini akan memastikan semua orang makan siang tepat waktu, bahasa lain untuk memastikan mereka tidak berpuasa di siang hari.

Mereka yang tinggal di luar Xinjiang lebih beruntung; bisa sedikit leluasa menjalankan perintah agamanya walau dengan pe nuh keterbatasan.Tapi, itu tadi, semua gerakgeriknya tetap dipantau. Saat ini, sekitar 10 juta etnis Uighur tersebar di seantero Cina.

Namun sebenarnya, pengawasan ketat pemerintah tak hanya berlaku bagi warga Uighur dan umat Islam pada umumnya. Menurut penelitian terbaru dari lembaga nirlaba Freedom House yang berbasis di Amerika Serikat, sikap keras pemerintah Cina juga dilakukan terhadap umat agama lain. Bahkan, intensitasnya semakin me ning kat dalam beberapa tahun terakhir.

"Menggabungkan metode kekerasan dan tanpa kekerasan, kebijakan Partai Ko munis dirancang untuk mengendalikan per tumbuhan komunitas religius yang ce pat, dengan menghilangkan keyakinan dan praktik tertentu oleh penganutnya," kata laporan tersebut. Batasan-batasan terha dap umat beragama itu dibakukan dalam bentuk aturan hukum, yang apabila dilanggar pelakunya dianggap tak patriotis dan disejajarkan dengan pembangkang.

Sejak Presiden Xi Jinping berkuasa pa da akhir 2012, tulis laporan Freedom House, skala penindasan agama telah me ning kat di semua tingkatan masyarakat, mes ki pun ada perlawanan secara luas pada ma sing-masing agama. "Skala dan tingkat ke parahan kontrol atas agama, dan me ning kat nya penindasan dan tekanan mempengaruhi masyarakat dan politik di Cina jauh melampaui wilayah kebijakan agama semata," kata periset Freedom House, Sa rah Cook.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement