REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wisata ke Xinjiang bisa menjadi tapak tilas jejak Ibnu Batuta atas penjelajahan mereka di Jalur Sutera. Sejak makin membuka diri pada 1970-an, Provinsi Xinjiang secara umum kini hidup dari pariwisata.
Pada 2010 saja, 30 juta wisatawan tercatat mengunjungi Xinjiang dan menghasilkan 4,6 juta miliar dolar AS bagi ekonomi Xinjiang. Pemerintah setempat bertekad menambah jumlah kunjungan wisatawan ke sana dengan menampilkan identitas minoritas sebagai daya tarik wisata. Urumqi, Pasar Kashgar, dan Menara Emin kini jadi salah satu objek wisata.
Salah satu atraksi wisata bagi Muslim di Xinjiang adalah wisata ziarah dengan mengunjungi sejumlah mazar (makam) atau bangunan bersejarah. Wisatawan bisa mengunjungi makam para Khan atau makam para ilmuwan, seperti Mahmud al-Kashghari dam Yusuf Khass Hajib.
Di sisi lain, kehadiran wisatawan bisa menjadi hal tidak menyenangkan bagi warga Xinjiang. Kekhawatiran tfhsdst kriminalitas dan hal negatif meningkat seiring bertambahnya jumlah wisatawan. Karena itu, penting pula bagi para pendatang untuk punya sensitivitas dan penghormatan atas sosiokultur setempat.
Xinjiang berada di urutan ke-15 penyumbang PDB Cina. Namun, daerah ini masih butuh dukungan untuk memperbaiki ekonomi mereka. Turpan sendiri sempat merasakan makmurnya pendapatan dari industri perkebunan anggur saat terjadi perubahan dalam ekonomi Cina. Namun, kebijakan tetap dibutuhkan agar kaum minoritas di Xinjiang tak makin terpinggirkan.
Pendampingan dan pembekalan warga lokal akan layanan wisata tampaknya jadi hal penting. Sebab, meski makin ramai wisatawan yang berkunjung ke Xinjiang, terutama ke Turpan, warga lokal tak banyak merasakan dampak ekonominya. Keuntungan terbesar justru didapatkan para agen perjalanan.