Ahad 07 May 2017 16:00 WIB

Derita Muslim Uighur dan Sejarah Panjang Pertikaian

Rep: Siwi Tri Puji B/ Red: Agung Sasongko
Muslimah Uighur yang selalu ditindas pemerintah Cina.
Foto: nypost.com
Muslimah Uighur yang selalu ditindas pemerintah Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Xinjiang merupakan wilayah administrasi Cina yang terbesar, berbatasan dengan delapan negara: Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India. Mayoritas penduduknya adalah etnis Uighur yang beragama Islam.

Bagi warga Uighur, Islam adalah bagian penting dari kehidupan dan identitas mereka. Bahasa mereka terkait dengan bahasa Turki, dan mereka menganggap diri mereka secara kultural dan etnis lebih dekat dengan negaranegara di Asia Tengah ketimbang Cina.

Perekonomian kawasan ini sebagian besar disokong dari sektor pertanian dan perdagang an. Bahkan sejak berabad lampau, kota-kota di Xinjiang seperti Kashgar berkembang sebagai penghubung Jalan Sutra, jalur perdagangan internasional yang terkenal di Abad Pertengahan.

Xinjiang berada di bawah kekuasaan Cina sejak abad ke-18. Pada tahun 1949, wilayah ini memerdekakan diri dengan nama Negara Turkestan Timur, namun tak lama usianya. Di tahun yang sama, Xinjiang secara resmi menjadi bagian dari Republik Rakyat Cina yang berhaluan komunis.

Pada 1990-an, dukungan terbuka untuk kelompok separatis meningkat setelah runtuhnya Uni Soviet dan munculnya negara-negara Muslim independen di Asia Tengah. Namun, Beijing menindas demonstrasi dan menangkapi aktivisnya. Sejumlah besar tentara yang ditempatkan di wilayah tersebut.

Beijing juga secara aktif menambah warga baru di wilayah ini. Pada sensus tahun 2000, populasi etnis Han mencapai hingga 40 persen dari populasi.

Sebetulnya, ketegangan di provinsi ini berakar dari sejumlah hal yang rumit dan kompleks, terkait dengan sejarah panjang kaum Uighur. Namun banyak pihak menyederhanakannya dengan menyebut faktor ekonomi dan budaya menjadi akar penyebab ketegangan etnis di wilayah ini.

Sebetulnya, ada benarnya juga penyebutan alasan ini. Proyek pembangunan utama yang membawa kemakmuran di kota-kota besar di Xinjiang menarik orang-orang muda etnis Han dari provinsi lain di Cina untuk mengadu per untungan di wilayah ini. Karena keahlian dan pendidikannya, mereka mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak. Hal ini memicu kecemburuan sosial di kalangan penduduk asli, suku Uighur.

Sementara menurut lembaga advokasi hak asazi manusia yang menaruh perhatian pada nasib kaum Uighur, kegiatan komersial adalah bagian dari memarjinalkan mereka dan dalam waktu bersamaan budaya Uighur dikurangi secara bertahap oleh Beijing. Yang paling nyata, adalah penindasan atas kebebasan beragama.

Amnesty International dalam sebuah la poran yang diterbitkan pada tahun 2013 menga takan bahwa pihak berwenang mengkriminalkan apa yang mereka sebut sebagai 'kegiatan agama ilegal' dan 'separatisme'. Mereka juga membatasi ekspresi identitas budaya yang damai. Tarian khas Uighur misalnya, dilarang dipentaskan. Di sisi lain, anak-anak sekolah di wilayah ini diwajibkan menguasai tari-tarian Cina.

Aktivis Uighur dan kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa pemikiran radikal tidak pernah mendapatkan daya tarik yang luas di wilayah ini pada awalnya. Namun pembatasan ekspresi religiuslah yang justru memicu siklus radikalisasi dan kekerasan.

Dilxat Raxit, juru bicara kelompok World Uyghur Congress, menyebut kebijakan baru terkait larangan penamaan bayi dengan namanama Islami kembali menegaskan "sikap bermusuhan" terhadap orang-orang Uighur. "Orang tua Han memilih nama-nama Barat dianggap trendi tapi orang Uighur harus mene rima peraturan Cina atau dituduh sebagai separatis atau teroris," kata Raxit.

Kelompok hak asasi manusia dunia juga mengutuk larangan terkait nama tersebut. "Kebijakan ini adalah pelanggaran terang-te rangan perlindungan domestik dan interna sional terhadap hak kebebasan beragama dan berekspresi," kata Sophie Richardson, pengamat Cina di University of Virginia. "Jika peme rintah serius membawa stabilitas dan keharmonisan ke kawasan ini seperti yang diklaimnya, mereka harusnya tidak membuat kebijakan yang represif." 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement